TEMPO: "Anak Diperkosa, Ayahnya pun Sakit Jiwa"
Seorang gadis diperkosa beramai-ramai di depan ayahnya sendiri. Hingga kini sang gadis masih dirawat intensif di rumah sakit di Jakarta Pusat, dan sang ayah terancam sakit jiwa.
Kerusuhan 14 Mei 1998 mewariskan trauma yang begitu akut pada warga keturunan Cina. Pasalnya, para penyerbu sentra-sentra ekonomi tidak hanya menyabot harta benda, menghanguskan gedung dan rumah, tetapi juga melampiaskan hasrat seksualnya. Pemerkosaan terjadi di banyak tempat. Ada gadis yang diperkosa di depan orang tuanya sendiri, ada yang diperkosa di depan suaminya. Dan yang lebih menyedihkan, di kawasan Jakarta Barat, seorang ayah dipaksa memperkosa anak kandungnya sendiri. Hingga sekarang sang ayah ini pun tak sehat lagi jiwanya. Sebuah bank swasta di Jakarta Utara didatangi sepuluh orang perusuh, begitu diceritakan Ita Nadia, aktivis perempuan yang ikut menangani kasus perkosaan itu, kepada Radio Nederland. Setelah masuk ke dalam bank itu, perusuh itu menyuruh karyawan Cina melakukan adegan berikut ini: tari telanjang. Sumber TEMPO Interaktif, sebut saja Andre, menceritakan bahwa salah satu gadis Cina yang pernah dipaksa menari telanjang sebelum diperkosa tanggal 14 Mei itu, kini meringkuk di Unit Kejiwaan Rumah Sakit Mangga Besar. Jiwa gadis itu tak lagi normal dan tutur katanya pun tak lagi santun. Tak peduli siang atau malam ia kerap berteriak, "Saya ingin nari telanjang, saya ingin nari telanjang" sembari memperagakan adegan tarian. TEMPO Interaktif yang mencoba menginvestigasi kasus-kasus ini memang agak kesulitan. Pada umumnya para korban ini sangat tertutup. "Untuk bertemu dengan korban pemerkosaan secara langsung susah sekali, Mas," kata beberapa sumber yang kami kontak. Setelah mencari ke sana kemari, akhirnya kami menemukan sumber yang bersedia mengisahkan dukanya, melalui perantaraan teman dari ayah korban, sebut saja Thomas. Menurut Thomas, korban itu dapat menceritakan kisahnya asal saja nama dan tempat tinggalnya bisa disamarkan. TEMPO Interaktif bersama Thomas pun meluncur ke perumahan di kawasan Jakarta Utara. Sejauh yang diamati, kawasan perumahan itu memang cukup jauh dari tempat-tempat umum. Angkutan umum seperti mikrolet, ojek dan sejenisnya tak melintas di kawasan ini. Artinya butuh waktu yang lama kalau hendak mengerahkan massa ke daerah itu. Kawasan ini terlihat begitu sepi. "Beberapa rumah di kawasan ini tanpa penghuni," kata Thomas. Menurut Thomas, rumah-rumah yang kosong itu ada yang telah dijual, tetapi penghuni barunya masih takut menempatinya. Ada juga rumah yang ditinggal pergi pemiliknya, dan untuk sementara mereka menginap di rumah keluarganya yang lebih aman, bahkan ada yang pergi ke Singapura untuk sementara. Setelah melewati beberapa putaran jalan, sampailah kami di depan rumah yang cukup mewah itu. Terlihat rumah ini memang kurang terawat dengan baik dan agak sepi. Di rumah itu hanya ada beberapa penghuninya. Seorang perempuan setengah baya membukakan pintu. Setelah menunggu beberapa menit seorang lelaki setengah baya, sebut saja Edwin, datang menyapa. Tak ada ekspresi apa pun dari wajahnya. Thomas memperkenalkan TEMPO Interaktif kepadanya. Ketika Thomas memberitahukan bahwa TEMPO Interaktif datang untuk mendengarkan kisah pemerkosaan atas anaknya, Edwin menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Badannya bergetar dan setelah itu ia berteriak keras," Biadab...... biadab.... , kenapa anakku yang jadi sasarannya. Apa salah kami, apa salah kami." Ia berteriak dan terus masuk kembali ke kamarnya. " Maaf Mas, jiwa bapak ini pun ikut goncang," kata Thomas. Menurut pembantu di rumah itu, Pak Edwin itu sering berteriak kalau malam hari. Ia terkadang mencaci maki dan terkadang ia berteriak minta tolong. Ia pun jarang makan, lebih sering minum air putih, kisah pembantu itu kepada TEMPO Interaktif. Lalu seperti apa kasus yang menimpa putrinya yang membuat Edwin yang agak kurusan itu begitu tertekan? Tak jelas benar. Karena penjelasan Edwin sendiri, yang diharapkan menjadi pintu masuk ke investigasi pelakunya, tak jadi dikisahkan. Jadinya, kisah ini pun kabur-kabur air. Menurut sumber yang layak dipercaya, sebut saja Joko, Edwin itu stres lantaran anak gadisnya diperkosa di depan matanya sendiri selama berjam-jam pada tanggal 14 Mei 1998. Kisahnya, pada pagi 14 Mei itu, pagi-pagi sekali Pak Edwin berangkat ke Jl. Sudirman Jakarta Pusat. Karena mendengar bakal ada kerusuhan besar-besaran, maka dia pun segera pulang ke rumahnya. Dia mengkhawatirkan anak gadisnya yang masih sekolah di SMA. Ketika sampai di rumahnya, ia melihat putrinya dan anak lainya sudah berada di rumah. Ia memperingatkan anak-anaknya untuk tidak keluar rumah, karena banyak sekali orang di jalanan yang tengah mengamuk. Tak berapa lama kemudian massa mulai bergerombol di depan rumah mereka. Mereka mulai berteriak, "Itu rumah rumah Cina, itu rumah Cina". Sepertinya mereka dikomando menyerbu beberapa rumah di kawasan itu. Yang diserbu memang hanyalah rumah-rumah orang Cina. Beberapa lelaki masuk ke dalam rumah orang tua tadi, dan mengobrak-abrik semua yang ada di dalamnya. Mereka memukul Edwin hingga tak berdaya. Setelah itu kaki dan tangannya diikat. Beberapa orang di antara rombongan itu meringkuk anak gadisnya, lalu pakaiannya dilucuti secara kasar. Secara bergantian orang-orang itu memperkosa gadis tak berdaya itu. Semua peristiwa tragis itu terjadi di depan mata sang ayah tadi. Edwin hanya bisa memohon dan menangis. Berkali-kali, ia menawarkan sejumlah uang kalau orang-orang itu mau pergi, tetapi tawaran itu terkadang dibalas dengan tendangan. Dan itu dilakukan oleh orang-orang itu hingga Edwin lemah lunglai. Istri dan kedua anaknya yang disuruh bersembunyi di lantai dua tak tahu lagi nasibnya. Entah siapa yang menolong, besoknya Pak Edwin sadar bahwa dirinya sedang berada di rumah sakit. Istri dan kedua anak lainnya juga selamat kendati mereka juga harus dirawat di rumah sakit. Sedangkan anak gadis yang secara beramai-ramai diperkosa tadi, kini masih dirawat di salah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Pusat. Hingga kini pun mental Edwin belum pulih benar.
|