Kompas: Terjadi Kesalahan Arah dalam Pembinaan Persatuan Bangsa
Kerusuhan rasialis yang terjadi di Jakarta 13-14 Mei silam adalah
bukti nyata bahwa telah terjadi kesalahan arah dalam pembinaan
persatuan bangsa Indonesia. Di Malaysia, yang serumpun dengan
Indonesia, perbedaan rasial sama sekali tidak menjadi masalah,
meskipun di sana warga negara keturunan Cina jumlahnya mencapai
sekitar 40 persen dari total penduduk.Hal ini diutarakan Dekan
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Sarlito
Wirawan, Kamis (18/6), setelah pertemuan konsultasi antara sekitar
20 warga masyarakat, yang menjadi korban dalam kerusuhan pertengahan
Mei lalu, dan Satuan Tugas (Satgas) Relawan Psikologi. Hadir pada
pertemuan yang berlangsung di Pusat Krisis
Psikologis Fakultas Psikologi UI itu antara lain Ketua Umum DPP
Persatuan Saudara Baru Indonesia, Soeripto, Manajer Hotel City
Glodok, Liem Sian Hie, dan Sekretaris Umum Satgas Relawan Psikologi
Kristi Poerwandari.
Dikatakan oleh Sarlito, Malaysia menempuh kebijakan pemberdayaan
pribumi, bukannya menidakberdayakan nonpribumi seperti di Indonesia.
Di Malaysia, warga negara keturunan Cina diperbolehkan berpolitik
dan bergabung dengan militer. Sebaliknya di Indonesia, walaupun
tidak dinyatakan secara terbuka, ada diskriminasi terhadap warga
keturunan Cina, contohnya dalam pengurusan KTP (Kartu Tanda Penduduk)
dan larangan bergabung dengan ABRI.
Padahal, tambah Sarlito, orang keturunan Cina yang bermukim di
kawasan Asia Tenggara adalah orang-orang yang tangguh dan gigih
berusaha.
"Mereka bisa melejit di segala sektor," katanya.
Lebih lanjut Sarlito menjelaskan, satgas psikologi itu akan menangani
para korban dalam dua aspek, yaitu aspek mikro, dengan program
pendampingan korban baik langsung maupun tidak langsung, terutama
pada korban perkosaan yang biasanya tidak mudah untuk bertemu
tatap
muka; serta aspek makro, yaitu kajian mengenai penyebab terjadinya
kerusuhan rasialis itu.
Untuk itu, Sarlito akan merintis pembentukan sebuah konsep pendidikan
dan pengembangan bangsa, agar tidak terulang lagi peristiwa yang
tidak bermoral itu. Namun, kata Sarlito, yang terpenting adalah
langkah perbaikan yang dimulai oleh setiap orang.
Usaha tanpa KKN
Dalam pertemuan itu, Manajer Hotel City Glodok Liem Sian Hie menceritakan
peristiwa penjarahan dan pembakaran yang menimpa hotel yang dipimpinnya
sejak 25 tahun lalu. "Akhirnya sekarang ratusan karyawan
hotel terkena PHK dan nasib keluarganya menjadi tidak jelas,"
kata Liem. Saat ini, hotel yang terletak di pertokoan Glodok itu
hangus bersama toko yang ada di pertokoan itu. Liem menyatakan
dirinya tahu pasti, para pemilik toko-toko itu adalah pribadi
yang berusaha keras sejak muda, dan sama sekali tidak terlibat
dengan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).
"Pantaskah orang seperti itu dinilai sebagai kesenjangan?"
tanya Liem. "Yang kesenjangan itu adalah orang-orang atas
yang hanya mau enak-enak menikmati uang tanpa mau bersusah payah,"
lanjutnya.
Liem juga merasa heran dengan terbakar habisnya gedung pusat pertokoan
Glodok yang besar itu. "Ini betul-betul hebat. Butuh teknik
tertentu untuk membakar gedung sebesar itu," katanya.
Ia mempertanyakan ucapan seorang pejabat yang menyatakan, warga
keturunan Cina yang hanya 3,5 persen dari 200 juta penduduk Indonesia,
menguasai 75 persen kekayaan nasional. "Buktinya apa?"
tanya Liem. Menurut dia, ucapan itu berusaha mengalihkan fokus
KKN dan
menjadikan warga keturunan sebagai sasaran lagi.
Sementara Ongkowijaya, seorang profesional yang peduli akan nasib
korban kerusuhan mengatakan, kasus perkosaan tidak dapat selesai
begitu saja. Kondisi fisik korban dapat membaik, tetapi pemulihan
kondisi jiwanya butuh waktu yang panjang.
Ongkowijaya juga mempertanyakan anggapan bahwa warga keturunan
Cina menguasai mayoritas kekayaan nasional. "Itu kan ada
orang yang ngomong, media memuat, dan orang yang percaya. Padahal
keadaannya tidak begitu, " tuturnya.
Menurut dia, peristiwa yang telah terjadi ini patut disesali.
"Jangan sampai ada rasa pembenaran bahwa rakyat yang lapar
boleh menjarah," kata Ongkowijaya. (gg)
|