Saya tak Perlu Bicara Banyak
Jakarta, Kompas
Presiden BJ Habibie menegaskan, pihaknya tidak perlu berbicara
banyak menanggapi anggapan yang mengatakan Presiden dan Kabinetnya
sekarang masih ada di bawah bayang-bayang Presiden RI Kedua, HM
Soeharto."Menjawab pertanyaan Bapak mengenai apakah kami
dan para anggota kabinet ini masih di bawah bayangan mantan Presiden
kedua, untuk menjawab ini, saya tidak perlu berbicara banyak.
Kita lihat saja dari tindakan-tindakannya. Apakah kalau memang
harusnya demikian, masa kejadian dalam 14 hari kok harus terjadi
sekarang. Kenapa tidak setahun yang lalu, atau dua bulan lalu,"
kata Habibie.
Habibie mengatakan hal itu dalam tanya-jawab dengan seorang pemimpin
redaksi saat bersilaturahmi dengan para pemimpin redaksi media
massa nasional maupun internasional di Wisma Negara, Jakarta,
Sabtu (6/6). Silaturahmi yang untuk pertama kalinya diadakan setelah
32 tahun masa Orde Baru yang beralih ke Orde Reformasi itu berlangsung
dari pukul 12.00 WIB hingga sekitar pukul 15.30 WIB.
Acara diawali santap siang bersama. Presiden Habibie yang didampingi
Menpen Junus Yosfiah dan Mensesneg Akbar Tandjung duduk satu meja,
antara lain dengan Sofyan Lubis (Pos Kota), Dja'far H. Assegaf
(Media Indonesia), dan Jakob Oetama (Kompas). Usai makan siang
dan mengawali pembicaraan sekitar satu jam, Habibie memberi kesempatan
para pemimpin redaksi itu untuk bertanya secara bebas.
Habibie mengenakan busana bercorak tradisional warna-warni, dengan
dasar hitam, serta peci hitam. Ia tampak cerah dan menjawab seluruh
pertanyaan dengan terbuka, gamblang, dan panjang. Soal peci hitam
ini, sambil tertawa, Habibie bercerita, saat menjamu santap malam
kenegaraan, PM PNG Bill Skate. Ia ditanya mengapa di ruangan ini
hanya Habibie dan para pramusaji yang mengenakan peci hitam dan
dasi kupu hitam. "Lalu saya jawab, saya menjadi Presiden,
karena saya ini mewakili orang-orang itu," katanya.
Kemerdekaan media
Lebih lanjut Habibie mengatakan, "apakah kebijaksanaan dari
Menpen, yang sekarang kita hadapi, sebagai hari kemerdekaan dari
media pers. Kalau memang itu, kenapa tidak satu bulan yang lalu.
Apa membebaskan Pakpahan dan Sri Bintang dan banyak orang lagi
yang sudah lama permintaannya, kenapa harus berlangsung dalam
14 hari ini. Banyak sekali yang harus diselesaikan."
"Jadi kalau kita masih mempersoalkan, sedang luar negeri
tidak mempersoalkan lagi, seperti yang disampaikan Wakil Menlu
AS, yah saya rasa nggak masalah. Tidak usah berlebihan. Jadi sudah
cukup, saya tidak perlu menjelaskan, bagaimana pun juga kita menganggap
Pak Harto adalah Bapak kita semua. Oke. Dan kita berbudaya Indonesia,"
kata Habibie.
Menurut Habibie, pers sudah baik tetapi perlu disempurnakan. Terutama
dalam hal mencari kebenaran, bukan unsur sensasional untuk meningkatkan
oplah. "Yang mana, yang mengandung kebenaran dengan check
dan re-check. Kita harus membina agar anak-anak kita lebih baik
dari bapaknya dan tidak dipengaruhi globalisasi yang banyak pengaruhnya
satu sama lain," kata Habibie. Ia menegaskan pula, pemerintah
tidak akan mencabut SIUPP.
Evolusi, bukan revolusi
Habibie sebelumnya menegaskan, perjuangan bangsa Indonesia dan
proses reformasi hanya bisa berjalan dengan baik bila dilaksanakan
secara evolusioner, bukan revolusioner. Dalam arti, dilakukan
secara bertahap. "Saya berikan contoh, kalau saya mau membuat
gedung 24 tingkat, saya buat tingkat pertama, tingkat kedua, tingkat
ketiga, tidak mungkin langsung loncat ke tingkat kesepuluh,"
tegasnya.
Ditegaskan, yang harus dilakukan adalah mempercepat proses reformasi.
Menurut Habibie, mengakselerasi atau mempercepat itu merupakan
satu-satunya cara yang secara alamiah bisa mempertahankan kualitas
hasil, meminimalkan risiko, dan menekan biaya.
Langkah itu penting karena yang dihadapi bukan reformasi pemerintah,
melainkan reformasi seluruh bangsa dalam meningkatkan daya saing,
efisiensi, produktivitas, pertahanan ketahanan nasional dan ekonomi.
Untuk itu, pendekatan yang dilakukan harus sistematis dan terpadu.
Tidak bisa langsung menuduh seseorang terlibat KKN (korupsi, kolusi,
dan nepotisme), namun harus terlebih dulu menentukan kriteria
KKN.
"Kesimpulannya demikian. Saya mengajak Anda semua untuk memelihara
momentum reformasi ini, tapi yang realistis. Dan dengan segala
keterbatasan kita itu, kita arahkan konsentrasi ke masa depan.
Tapi tidak berarti masalah KKN kita lupakan. Silahkan, melalui
UU dan legal system yang ada. Monggo. Tapi kita tidak perlu membingungkan
rakyat, menghasut," kata Presiden.
Diingatkan, tidak perlu pula bertindak tanpa dasar tolok ukur,
karena Indonesia adalah negara hukum. Juga, tetap perlu mendasarkan
tindakan pada asas praduga tak bersalah, dan hak asasi manusia.
"Jadi saudara-saudara, saya mau mengajak, kumpulkan informasi,
serahkan sama salurannya, tetapi konsentrasi kita penuh bagaimana
dalam waktu sesingkat-singkatnya kita melaksanakan reformasi total,
yang menguntungkan seluruh bangsa dalam bidang politik, hukum,
dan ekonomi. Dan kita harus mengambil jalan yang diterima,"
tegasnya.
Karena itu, pelaksanaan Sidang Istimewa MPR dan Pemilu pun harus
dilaksanakan secepatnya. Pemerintah bermaksud menyelesaikan RUU
tentang pemilu, kepartaian, dan politik bulan Agustus. Mengingat
waktu yang hanya tinggal dua bulan lagi, Habibie membuka kesempatan
seluas-luasnya bagi mereka yang menganggap diri wajar dan patut
untuk ikut dalam persiapan RUU.
Diharapkan, bulan September ia sudah bisa mengambil kebijakan
untuk mencek, lalu memproses menjadi UU. "Insya Allah kita
bisa berlari cepat, sehingga bulan Desember sudah diundang-undangkan.
Kalau UU itu sudah ada, kita sudah tahu skenario yang saya sebutkan
sedikit, saya akan meminta kepada pimpinan DPR untuk mempersiapkan
SI MPR," jelasnya.
Diharapkan SI MPR bisa dilaksanakan akhir Desember atau awal Januari
selama satu hari, atau dua hingga lima jam, dengan program tunggal
mengubah Tap-tap MPR yang berkaitan dengan pemilu. Disusul pemasyarakatan
selama tiga bulan, sehingga bulan Mei 1998 bisa mengadakan pemilu
dan mempersiapkan SU MPR.
Pri dan non-pri
Lebih lanjut Habibie menekankan perlunya secara bersama-sama dan
tanpa membeda-bedakan satu sama lain, mengembalikan kepercayaan
pada ekonomi Indonesia.
Habibie mengimbau tidak lagi membicarakan perbedeaan pri dan non-pri.
"Saya sampaikan tanpa pandang bulu, tiap WNI yang committed
dan memikirkan nasib bangsa ini, rakyat ini, dan segala kehidupan
kesehariannya, dia adalah pribumi," kata Habibie.
"Tapi, apakah dia orang Bugis, seperti saya dari Pare-pare,
kalau hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak peduli terhadap
masalah yang dihadapi bangsanya, dia bagi saya non-pribumi. Supaya
disadari masyarakat, ini suatu reformasi, tiap usaha kita timbang
lagi," tegasnya.
"Manusia itu, walaupun keturunan Cina, dalam kaca mata saya
sebagai Presiden RI adalah pribumi asli, karena dia memikirkan
nasib bangsanya. Saudara-saudara, tidak perlu lagi kita membicarakan
masalah ini, karena, Pancasila yang murni itu tidak akan mentolerir
SARA dalam bentuk apa pun juga," ujar Presiden. Untuk memperjelas,
Presiden meminta bantuan Menpen Junus Yosfiah tentang keturunan
Cina yang ada di tubuh ABRI. Menpen menegaskan, tidak ada pembatasan
bagi keturunan Cina untuk masuk ABRI. (rie/osd)
|