Luka Kerusuhan, Luka Perempuan
KETIKA amuk sudah reda, asap kebakaran toko-toko dan pusat perbelanjaan
di Jakarta sudah padam, ada baiknya merenungkan apa yang sudah
terjadi pada pertengahan Mei itu. Sesuatu yang selama ini kurang
disorot media massa, namun punya bekas, luka, dan trauma mendalam
pada beberapa individu.
Di tengah kecamuk keadaan waktu itu, terjadi serpihan-serpihan
peristiwa yang sungguh sulit diterima oleh siapa saja yang masih
punya hati nurani: penjarahan terhadap "milik" perempuan
yang paling berharga, dari pelecehan seksual sampai tindak perkosaan.
Bau busuk peradaban ini susah untuk ditutupi. Paling tidak Komnas
HAM sudah mengawali mengungkapnya dalam jumpa pers pekan ini.
Sejumlah kasus perkosaan dan pelecehan seksual yang terjadi bersamaan
dengan kerusuhan 13-14 Mei lalu, telah dilaporkan ke Komnas HAM.
Anggota Komnas HAM Aisyah Amini telah menyebutkan, "Secara
kualitatif peristiwa ini mengguncang para korban, yang juga etnis
Cina serta warga Indonesia lain, termasuk warga negara asing."
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat, sebenarnya diam-diam telah
mengupayakan gerakan pendampingan terhadap para korban ini. Mereka
menyadari, sampai saat ini sebagian besar korban belum tertangani.
Juga belum ada advokasi yang terorganisir untuk membantu para
perempuan yang menjadi korban pelecehan dan perkosaan.
Akhirnya berbagai organisasi dan individu dengan latar belakang
dan kalangan yang beragam, sepakat membentuk Tim Relawan Kemanusiaan
Divisi Perempuan. Tim yang dikoordinatori Ita F Nadia ini siap
memberikan bantuan mulai dari penanganan medis, pendampingan,
shelter, terapi psikologis, jaminan keamanan, sampai bantuan hukum.
"Orang-orang yang menjadi korban ini dalam keadaan sangat
takut, shock, tidak berdaya. Mereka butuh dibesarkan hatinya,"
kata Sita Aripurnami dari Kalyanamitra, salah satu anggota Tim
Relawan.
***
DAN inilah yang dialami Andina, sebut saja begitu. Gadis berusia
26 tahun ini, pada hari naas itu (Rabu 13/5) pulang dari kantornya.
Sebuah bank swasta di kawasan Tomang. Ia dibonceng pacarnya, pegawai
perusahaan komputer, menuju rumahnya di bilangan Jelambar, Jakarta
Barat.
Merasa keadaan sudah mereda, mereka nekad pulang menjelang pukul
21.00 WIB. Keduanya tak pernah bermimpi, dalam perjalanan itu,
di suatu tempat di Jakarta Barat mereka tiba-tiba dikepung massa
yang muncul begitu saja entah dari mana.
Di keremangan malam itu, Andina sudah tak mampu lagi berpikir
diapakan saja dirinya. Yang teringat hanyalah, ia ditarik-tarik
massa agar turun dari sepeda motor.
"Tuhan, tolong Tuhan...." hanya kata-kata itu yang dia
teriakkan, di tengah-tengah himpitan kepanikan dan ketakutan luar
biasa.
Blazernya sudah terlepas, sementara seluruh harta miliknya dilolosi.
Uang, handphone, kartu ATM, SIM, STNK, helm, bahkan obat dokter
untuk orangtuanya yang baru ditebus di apotek, habis dijarah.
Andina tidak ingat lagi, diapakan saja dirinya waktu itu. Hanya
doa yang terus menguatkannya. Sekali ia jatuh terjengkang, tetapi
dengan kekuatan yang tersisa ia bangun dan kembali memegang baju
pacarnya erat-erat.
Sang pacar, yang orangtuanya berencana melamar tanggal 17 Mei
-empat hari sebelum kejadian ini menimpa- tak berdaya dipukuli
massa. Yang terdengar hanyalah rintihannya, "Ampun Pak..
ampun.. Saya orang biasa..."
Sementara teriakan massa makin menyeramkan. Tetapi dalam keputusasaan,
menurut penuturan Andina, tiba-tiba ada orang tua muncul. Ialah
yang memerintahkan agar para penjarah membebaskan dua anak manusia
ini.
Andina dan pacarnya bisa pergi meninggalkan tempat itu, sebelum
kemudian ditolong polisi jaga di dekat situ yang juga tak luput
dari lemparan batu massa.
Oleh polisi mereka diantar ke rumah penduduk. Seorang penduduk
kemudian memboncengkan keduanya sampai rumah. Berhari-hari kemudian,
Andina masih saja dicekam peristiwa itu.
Lama ia tak masuk kantor. Sekujur tubuhnya penuh bilur-bilur biru,
bahkan juga di pangkal paha. Bekas-bekas kekerasan ini, baru hilang
seminggu kemudian.
***
DATA yang dikumpulkan Tim Relawan Kemanusiaan Divisi Perempuan
makin menunjukkan, betapa hak dan harkat perempuan, bahkan juga
nyawa, menjadi tak berharga begitu kerusuhan melanda.
Dari hasil pendataan sementara, diketahui sebagian besar korban
pelecehan dan perkosaan adalah perempuan etnis Cina berusia muda.
Sebagian besar kasus, terjadi di kawasan Jakarta Barat, Jakarta
Utara, dan Tangerang. "Kami juga menemukan satu kasus perkosaan
pada anak berusia 12 tahun," kata Ita.
Ditemukan data bahwa sebagian besar perkosaan dilakukan berkelompok
yang bisa mencapai lebih daripada lima orang. Ditemukan pula korban
yang dilukai setelah diperkosa.
Kekejaman dan kebiadaban juga dialami perempuan warga keturunan
yang tidak diperkosa. Mereka ditelanjangi, dianiaya, dan dipaksa
melakukan berbagai hal yang memilukan.
Seorang saksi mata menuturkan, massa dengan semena-mena menggerayangi
para karyawati bank di bilangan Gajah Mada ketika mereka dengan
panik keluar gedung menjelang kantor tersebut dibakar, Kamis (14/5).
Melihat luasnya daerah kejadian yang tercatat, tim relawan memperkirakan
korban pelecehan dan pemerkosaan ini ratusan jumlahnya. Kata Sita,
"Pada kasus-kasus semacam ini biasanya korban menjadi sangat
apatis dan tertutup, sehingga lebih sulit pendataannya."
"Keengganan tersebut makin diperkuat oleh tidak adanya jaminan
keamanan dan kuatnya sikap rasialis terhadap warga Indonesia keturunan
Cina," tandas Ita.
***
APAKAH batas-batas itu telah terlampaui?
Nurani kita masing-masing yang bisa menjawab. Tapi semoga kita
bisa ikut merasakan betapa perih luka yang dialami Andina dan
para korban lainnya.
"Sakit, sakit sekali... Saya bercerita, dengan harapan ada
salah satu dari mereka bisa membaca, bisa tahu apa yang saya rasakan,
dan tak mengulanginya pada orang lain," tutur Andina dengan
mata berkaca-kaca.
Suatu hal yang umumnya justru disimpan rapat-rapat sang korban
dalam kesendirian dan keterpurukannya. Kalau sudah begini, masih
adakah nurani untuk membantu mereka? (bre/nes)
|