Tragedi BCA Dan Nonpri
Analisis Christianto Wibisono
Jika seorang raja atau penguasa telah mengerahkan sebagian aparatur
negara untuk menculik, menembaki dan melibas warga negaranya sendiri,
maka menurut pakar politik Mancur Olson, penguasa itu secara modern
telah kehilangan legitimasi dan sumber moral untuk melanjutkan
pemerintahan.
Korban-korban 27 Juli menurut Megawati masih belum tuntas diungkapkan.
Sementara rentetan pembakaran gereja dan insiden SARA juga mewarnai
periode pra kampanye pemilu 1997 mulai dari Situbondo, Tasikmalaya,
Rengasdengklok dan berakhir dengan kebakaran di Banjarmasin yang
nyaris menelan tumbal Menseskab Saadilah Mursyid waktu itu.
Pada periode Sidang Umum MPR Maret 1998, terjadi ledakan SARA
di Pantura dan Medan yang baru berhenti setelah utusan khusus
Presiden Clinton, Walter Mondale mengancam bahwa AS akan menyetop
bantuan AS bila rekayasa huru hara SARA itu tidak segera distop.
Soeharto tersinggung dengan ultimatum Mondale, karena itu melontarkan
isu bahwa paket IMF adalah liberalisme yang bertentangan dengan
UUD 1945.
Isu ini disampaikan oleh FPP ketika mereka menghadap ke Cendana
dalam rangka pencalonan kembali Soeharto untuk ketujuh kalinya
9 Maret 1998. Klimaks dari kekejaman dan petualangan rezim Soeharto
ialah ketika mahasiswa Trisakti ditembaki dalam kampus pada 12
Mei dengan kalkulasi bahwa jika mahasiswa Trisakti mati yang secara
random sebagian adalah nonpri, reaksi massa tidak akan terlalu
gegap gempita dibanding jika mahasiswa UI yang mati ditembak.
Tragedi biadab yang meledak pada 13 dan 14 Mei sebagai retaliasi
atas gugurnya Pahlawan Reformasi merupakan konspirasi antara sebagian
oknum pengalih sasaran dengan kebringasan massa. Retaliasi ditujukan
kepada golongan non pribumi sebagai kambing hitam, sapi perah
tradisional pada setiap terjadinya vakum dan suksesi kekuasaan
dari satu rezim ke rezim yang lain.
Tampaknya dendam kesumat antara golongan pri dan non pri telah
demikian dalamnya tertanam, sehingga insiden SARA mudah sekali
muncul hanya dari sengketa perorangan soal tetek bengek, sampai
teori konspirasi mirip Kenpetai/KGB meledak menjadi huru hara
dahsyat yang memakan korban harta dan jiwa orang yang tidak berdosa.
Massa yang beringas tidak ingat lagi kepada agama dan Tuhan, yang
dilihat hanya penampilan fisik orang berkulit kuning dan bermata
sipit, untuk digebuki, sebagian wanitanya diperkosa, dibakar hidup-hidup
karena tidak sempat keluar dari rumah serta dirampok hartanya
habis-habisan, sehingga tidak mempunyai pakaian atau milik pribadi
apa pun.
Saya bisa menulis begini karena anak dan dua cucu saya yang masih
bayi (1,5 tahun dan 2 bulan) mengalami penjarahan dan pembakaran
rumahnya di Pantai Indah Kapuk pada tragedi biadab 14 Mei tersebut.
Sebagai pengamat politik yang telah mempelajari tingkah laku politik
rezim Soeharto saya menyatakan bahwa tragedi 14 Mei adalah suatu
konspirasi kontra-reformasi untuk mendiskreditkan gerakan mahasiswa
yang menolak Soeharto. Saya menyesalkan bahwa massa pribumi dengan
kebencian membakar dan menjarah milik non pri dipelopori oleh
oknum-oknum terorganisir yang mengeksplotir sentimen primordial
massa dengan motivasi Machiavelis.
Memahami konspirasi politis di balik tragedi biadab 14 Mei, saya
mendesak pemerintah dan Komnas HAM agar menyidik aktor intelektual,
penggerak dan pelopor tragedi biadab tersebut. Para penembak mahasiswa
Trisakti yang akan diadili juga harus diusut sampai ke atasannya,
siapa di belakang instruksi atau prosedur biadab membunuh nyawa
anak bangsa yang sudah kembali ke kampus.
Amuk massa 14 Mei yang biadab, merupakan akumulasi akibat politik
Machiaveli rezim Soeharto yang penuh intrik pilih kasih dan fitnah
adu domba yang saling mematikan calon pesaing potensial.
Kru BBC World Service yang datang dari Belfast meninjau reruntuhan
rumah Jasmine, dengan surprise menyatakan bahwa puing kebakaran
ini mirip dengan adegan perang gerilya kota di Bosnia. BBC menanyakan
apakah kebencian itu sekadar akibat isu dominasi ekonomi Indonesia
oleh keturunan Cina atau oleh sebab lain yang lebih berat? Saya
terus terang tidak bisa menjawab tapi membaca wawancara Intenational
Herald Tribune 29 Mei dengan massa pribumi yang anti Cina, kita
memang harus mengakui bahwa proses pembinaan kesatuan dan persatuan
bangsa lintas SARA telah lama terkontaminasi oleh politik adu
domba Machiavelis rezim Soeharto.
Di zaman Bung Karno, pemerintah memberi fasilitas kepada pengusaha
istana yang hampir seluruhnya pribumi yakni AM Dasaad, Hasyim
Ning, Abdurachman Aslam, Bram Tambunan dan Markam. Tiga yang terakhir
ini disita hartanya oleh Orde Soeharto, dijadikan PTPP Berdikari.
Sedang AM Dasaad sebetulnya sudah merupakan pengusaha kawakan
sebelum Bung Karno jadi presiden, tapi kemudian menjadi kawan
akrab Bung Karno sampai akhir hayatnya.
Pada periode demokrasi liberal hingga tahun 1965, Indonesia mengenal
7 menteri nonpri dalam pelbagai kabinet. Waktu revolusi kemerdekaan,
Mr Tan Po Goan dari PSI dan Siauw Giok Tjhan pernah menjadi Menteri
Negara urusan peranakan. Pada Kabinet Ali Arifin Dr Ong Eng Die
dari PNI menjadi Menteri Keuangan dan Dr Lie Kiat Teng alias Mohamad
Ali dari PSII menjadi Menteri Kesehatan pada kabinet terakhir
yang dipimpin Bung Karno sendiri, terdapat tiga menteri nonpri
yaitu Mr Oei Tjoe Tat, Tan Kiem Liong alias Mohamad Hassan sebagai
Menteri Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan serta IR David G
Cheng sebagai Menteri Cipta Karya dan Konstruksi.
Setelah Soeharto menjadi presiden, tidak ada satu menteri pun
dari keturunan Cina kecuali Bob Hasan yang dipilih secara melawan
arus, dan membuktikan sikap hardiliner Soeharto terhadap gejolak
anti KKN.
Saya ingin menegaskan kepada seluruh elite pribumi, bahwa keturunan
Cina adalah bagian tak terpisahkan dan tak mungkin juga dideportasikan
mengingat jumlahnya dan peranannya dalam sistem ekonomi Indonesia.
Kepada sebagian elite yang dengan pongah selalu mengklaim bahwa
keturunan Cina adalah economic animal, tidak punya andil dalam
sejarah perjuangan bangsa, selalu oportunis dan plin plan saya
ingin menyerukan agar membaca buku sejarah secara benar.
Keturunan Cina adalah pendiri, pemilik dan pewaris sah negara
Republik Indonesia. Dari 62 anggota Badan yang mempersiapkan kemerdekaan
Indonesia yaitu BPUPKI, 4 orang adalah dari keturunan Cina yang
mewakili spektrum luas.
Pertama ialah Ketua Partai Tionghoa Indonesia, Mr Liem Koen Hian.
Kedua konglomerat Oei Tjong Hauw, putra dan pewaris Oei Tiong
Ham Concern, MNC pertama di bumi Asia Tenggara. Ketiga, Oei Tiang
Tjoei tokoh masyarakat Cina Betawi dan keempat Mr Tan Eng Hoa
mewakili cendekiawan Tionghoa.
Jadi ada segelintir yang memihak Nica, maka dari pribumi pun ada
oknum yang malah menjadi delegasi Nica dalam berunding dengan
RI seperti Abdulkadir Wijjatatmaja. Sedang tokoh seperti Dr Tjoa
Sik Ien membantu delegasi RI di PBB memperjuangkan eksistensi
RI di dunia internasional.
Jika sekarang ini terjadi rush dan penjarahan terhadap Salim Grup
dan BCA, maka biang keladi dari krisis ini sebetulnya merupakan
kolusi politisi pribumi bernama Soeharto dengan pedagang non pri
bernama Liem Sioe Liong. Jika oknum militer menembaki mahasiswa
Trisakti maka yang diadili ialah penembak atau atasan langsung
dan bukan seluruh ABRI dibubarkan.
Demikian pula jika memang ada oknum non pri yang kolusi atau bersalah,
silakan dihukum secara individual. Tapi tidak ada fatwa dalam
agama apa pun yang bisa membenarkan perampokan dan penjarahan
kepada orang lain hanya karena orang itu berbeda fisik, etnis
dan agamanya. Karena itu kita mengutuk keras tragedi biadab kontra
reformasi 14 Mei 1998.
Aktor intelektual tragedi biadab yang memalukan citra dan nama
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang tidak berperikemanusiaan
dalam opini publik global, harus diseret ke Mahmilub.
Kepada elite pribumi yang mayoritas dan dominan, sekaranglah saatnya
untuk memberikan kepemimpinan kaliber negarawan dengan menghormati
hak asasi dan hak hidup golongan minoritas apa pun dalam tubuh
bangsa Indonesia yang majemuk. Mereka bukan hasil karya monopoli
satu golongan mayoritas, sebab terbukti di Konstituante tidak
ada ideologi mayoritas di Indonesia, semuanya harus berkoalisi
secara bijaksana.
Indonesia merdeka bukan monopoli pejuang satu agama tertentu,
melainkan merupakan aliansi pluralistik pelbagai agama dan golongan
termasuk etnis Cina.
Memang tidak semua warga Cina yang 5 juta bisa berpolitik seperti
Yap Thiam Hien atau Kwik Kian Gie atau Arief Budiman. Sebab di
mana-mana di seluruh dunia, yang namanya massa itu selalu memang
mengambang dan tidak begitu antusias berpolitik.
Di AS sekalipun yang tingkat intelektual dan daya belinya tinggi,
tidak semua rakyat AS berpolitik. Tokoh politik memang hanya bisa
dihitung dengan jari, apalagi dari golongan minoritas yang secara
sengaja dipojokkan oleh mayoritas untuk hanya berkecimpung di
bidang bisnis saja.
Sejak trauma Baperki yang dibubarkan Orde Soeharto maka golongan
non pri alergi dan sensitif terhadap politik. Hanya satu dua tokoh
yang sadar terjun ke dunia politik seperti Harry Tjan, Wanandi
bersaudara dan kolega saya dari SMA Loyola Djoko Sudyatmika.
Arief Budiman dicap sebagai oposan yang tidak populer di mata
penguasa dan rezim Soeharto karena vokal dan kritis. Kwik Kian
Gie baru muncul sejak tahun 1988 sedang tokoh-tokoh intelektual
juga bisa dihitung dengan jari seperti Mely Tan, Thee Kian Wie
dan Lie Tek Tjeng, tiga tokoh peneliti senior LIPI.
Mereka ini oleh golongan pribumi yang berpandangan simplistis
selalu disebut sebagai exception orang Cina yang sadar politik
dan kepedulian makro. Tapi saya ingin mengingatkan bahwa di seluruh
dunia, pada bangsa apa pun termasuk pribumi, yang namanya massa
itu memang floating, mengambang dan pasrah kepada elite. Tidak
mungkin mengharapkan semua non pri harus menjadi patriot dan intelektual
serta tokoh seperti Kwik Kian Gie semua. Atau seluruhnya 5 juta
harus jadi Arief Budimanan atau Ong Hok Kam semua.
Mayoritas rakyat di mana-mana ya hanya berpikir untuk hidup bermasyarakat
secara damai. Pemimpin-lah, elite-lah yang harus berpikir ke arah
kesejahteraan dan kebersamaan dalam memimpin bangsa secara demokratis
dan modern. Karena itu budaya oposisi, menghargai pendapat orang
yang berbeda dengan latar belakang berbeda harus dihormati dan
dijamin.
Sebab jika sistem politiknya hanya melestarikan pola devide et
impera rezim Soeharto yang sudah dikenal dengan intrik adu domba
yang Machiavelistis, maka saya khawatir bangsa ini akan terus
dilanda tawuran model SARA yang salah satu klimaksnya kita alami
pada tragedi biadab 14 Mei 1998.
Saya ingin menyerukan kepada segenap elite nasional kita untuk
menghayati tantangan ekonomi yang memburuk ini dengan memulihkan
kepercayaan pada seluruh warga negara, bahwa elite yang benar,
menolak dan mengutuk tragedi biadab 12-14 Mei 1998. Hanya dengan
jiwa besar elite pribumi dan pemerintah untuk mengakui bahwa telah
terjadi konspirasi atau perselingkuhan politik haram dalam tragedi
biadab 12-14 Mei, maka luka bangsa ini bisa disembuhkan.
Mengembalikan kepercayaan kepada orang yang rumahnya habis dibakar,
sebetulnya tidak semudah sekadar mengganti rugi rumahnya kembali.
Rasa aman dari putri saya tidak akan pulih walaupun pemerintah
membangun kembali rumah yang telah dibakar habis oleh penjarah
biadab 14 Mei 1998. Luka itu tidak bisa diobati meskipun dengan
kucuran dana dari pemerintah, sebab yang terhilang pada hari itu
menurut istilah Sri Sultan Hamengkubuwono adalah kepercayaan yang
nilainya jauh lebih mahal, lebih besar dari nilai material dan
nilai buku triliunan rupiah.
Suatu permintaan maaf dan jaminan tidak akan terulang lagi, serta
penuntutan aktor intelektual tragedi biadab 12-14 Mei merupakan
syarat minimum yang diperlukan agar masyarakat percaya lagi bahwa
bangsa ini akan dapat bangkit dan mentas dari kebiadaban politik
Machiaveli.
Tragedi BCA yang di-rush sebetulnya merupakan bagian dari penyakit
kronis, masalah nonpri yang belum pernah dipecahkan secara fundamental
oleh rezim Soeharto. Justru dengan pola kolusi Soeharto-Bob Hasan-Salim,
masyarakat terutama pribumi merasa muak dengan kolusi yang mengeksploitasi
rakyat.
Nonpri yang jujur juga tidak senang dengan kolusi, tapi mereka
tergolong silent majority yang tidak mungkin bersuara di tengah
sistem politik yang apriori tidak memberi tempat bagi nonpri untuk
menjalankan peranan politik secara fair.
Karena itu saya tidak melihat jalan keluar lain bagi BCA kecuali
nasionalisasi dengan buy back option bagi pemilik lama dan setelah
itu go public untuk survival dan eksistensi yang lebih solid.
***
|