Turunan Kuasai Perekonomian Karena Tak Ada Politik Minority
MEDAN (Waspada): Tidak adanya politik minority membuat WNI turunan
China dapat menguasai perekonomian. Disamping itu juga karena
masalah keamanan yang bisa diperjualbelikan.
Sebagai contoh, kata DR. Arief Nasution, MA, bila terjadi kecelakaan
pribumi dengan WNI turunan China, yang datang bukan yang bersangkutan
melainkan oknum aparat penegak keamanan.
''Ini membuktikan masalah keamanan menjadi suatu komoditi (barang
mahal) yang bisa diperjualbelikan oleh aparat penegak keamanan
itu sendiri.
Ini merupakan bahaya kuning,'' kata DR. Arief pada forum dialog
yang dilaksanakan Waspada, di Bumi Warta Jl. Brigjen Katamso Medan
Sabtu (30/5).
Dia menjelaskan tentang keberhasilan pemerintah Malaysia dalam
mengupayakan masyarakat pribumi untuk menguasai perekonomian di
negerinya.
Disebutkan, setelah sebelumnya perekonomian Malaysia dikuasai
warga keturunan China, pemerintah Malaysia tahun 1971 melaksanakan
Dasar Ekonomi Baru dengan merubah sistem perekonomiannya. Ekonomi
dan pendidikan dialihkan kepada masyarakat pribumi, sementara
WNI turunan China diberi kesempatan untuk menjadi pejabat.
''Malaysia yang sekitar 45 % warga negaranya adalah keturunan
China, bisa melaksanakan perubahan itu. Kenapa Indonesia yang
hanya memiliki sekitar 3 - 7 % tidak mampu melaksanakannya. Ini
bertitik tolak sejak dulu, yakni berlatar belakang PP 10. Sehingga
membentuk kecemburuan sosial yang secara tidak langsung diciptakan
oleh pemerintah.''
Begitu juga dengan negara-negara Eropa seperti Belanda, Amerika
Serikat, Prancis dan sebagainya, yang membatasi tentang mendominasinya
warga China dalam bidang ekonomi. Di negara-negara Eropa, masalah
politik minoritas sangat diperhatikan terutama untuk menghindari
bahaya kuning.
Mereka tidak membenarkan orang-orang China masuk dalam perekonomian
secara menyeluruh, kecuali hanya membuka restoran atau toko obat
China.
Di Indonesia, kata DR. Arief, sebenarnya sejak zaman Presiden
Soekarno telah ada upaya untuk membatasi agar perekonomian Indonesia
tidak dikuasai WNI turunan China. Tapi setelah itu tidak diberlakukan
lagi.
Malah, menurutnya, politik minoritas di Indonesia merupakan hal
yang tabu. Sistem dan Undang-Undang inilah yang perlu dirobah,
seperti Malaysia.
Indonesia, kata DR. Arief, mampu melakukan hal itu. Yaitu dengan
memberi kesempatan seluas-luasnya kepada pribumi untuk berusaha,
hingga ke pedesaan.
''Utamakan masyarakat pribumi dari pada China.''
Dosen Fisip USU dan Dekan Fisipol Universitas Dharmawangsa serta
tenaga pengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia ini yakin,
Indonesia mampu melakukannya.
Selain memberi kesempatan kepada masyarakat pribumi untuk menguasai
perekonomian seluas-luasnya, juga melakukan penyisipan di pemukiman-pemukiman
WNI turunan China dengan perbandingan 10 : 1. ''10 WNI turunan
China dan satu WNI pribumi.''
''Ini, dilakukan di Singapuran dan Malaysia. Sehingga pemukiman
WNI turunan China tidak menjadi pemukiman yang eksklusif seperti
yang terdapat pada beberapa tempat di Medan. Mereka bisa dikontrol.''
Untuk melakukan perubahan ini, pemerintah Indonesia harus membentuk
political minority. ''Saya pikir masalah SARA dan HAM tidak akan
menjadi kendala dalam hal ini, sepanjang adanya upaya pemerintah
untuk melakukan pemerataan hasil pembangunan. HAM juga akan mengerti.''
Jadi, tambahnya, kurangi kemiskinan, prioritaskan pribumi, distribusikan
hasil pembangunan hingga ke daerah-daerah dan harus transparan.
''Dengan membentuk political minority dan dengan menerapkan empat
persyaratan ini seperti Malaysia, saya yakin kita akan berhasil.
Harus dilakukan diskriminasi terhadap WNI turunan China sebab
bahaya kuning sangat ditakuti.
|