Negara "Federal" VS "Negara Ninja"
October 26, 1998

Suara Pembaharuan Daily

Christian Wibisono

Kali ini saya ingin menulis dalam kapasitas saya selaku Anggota Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional (PAN) untuk menjernihkan hiruk-pikuk soal Negara Federal yang seolah memojokkan PAN dan Amien Rais selaku penganjur Negara Federal. Sewaktu Soepardjo Roestam menjadi Mendagri, PDBI pernah ditugasi untuk melakukan pengkajian empiris tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah. Karena itu saya telah mempelajari secara empiris perbandingan APBN dan APBD Amerika Serikat yang menganut sistem Federal dan Jepang yang menganut sistem Negara Kesatuan. Jadi kalau sekarang ini orang heboh soal Negara Federal tanpa mendalami dan menghayati kemudian melontarkan kecaman dan pembelaan yang "ngawur" serta hantam kromo maka mudah-mudahan setelah membaca analisis ini para demagog yang tidak pernah melakukan studi empiris bisa melakukan mawas diri sebelum terjerembab dalam praktek "embahnya federal" karena tidak paham apa itu "federal yang optimal".

Embahnya Liberal

Selama 40 tahun di bawah rezim Soeharto dan rezim Demokrasi Terpimpin, istilah liberal menjadi tabu. Tapi justru Soeharto mengontrakkan wewenang pabean Ditjen Bea Cukai kepada perusahaan MNC SGS, yang tidak mungkin dilakukan bahkan di negara yang kita hafalkan sebagai "embahnya liberal" seperti AS. Jadi Indonesia di bawah Soeharto dengan kemunafikan berteriak tentang UUD 1945 dan Pancasila, ternyata malah lebih liberal dari embahnya liberal.

Sekarang ini semua orang berteriak antifederal dan memperlakukan istilah federal seperti penyakit AIDS yang harus dihindari. Padahal jika saya membawa berita tentang pidato para Gubernur dan pakar yang menuntut perimbangan keuangan untuk Daerah supaya di balik dari posisi sekarang di mana provinsi hanya menerima sekian desimal persen dari pendapatan menjadi 80% untuk daerah dan hanya 20 % untuk pusat maka usulan itu sebetulnya adalah "embahnya federal".

Di negara seperti AS yang memang federal, yang berhak memungut Pajak

Pendapatan Nasional atau Federal ya hanya Pemerintah Federal. Pemerintah Negara Bagian diperkenankan memungut pajak pendapatan lokal untuk Negara

Bagian yang bersangkutan. Tapi tarifnya jelas tidak mungkin menyamai atau melebihi, sebab akan membebani rakyat. Dalam rangka persaingan antar-Negara Bagian maka ada yang tidak memungut sales tax atau Pajak Penjualan seperti Oregon. Sedang tarif sales tax dan property tax atau PBB di Indonesia juga bervariasi dalam rangka kompetisi antara sesama Negara Bagian. Saya ingin menegaskan bahwa di negara seperti AS pun, Pemerintah Federal Pusat memegang monopoli dan porsi terbesar dari sumber penerimaan negara dari pajak pendapatan. Jadi kalau di Indonesia orang berteriak histeris antifederal, tapi para pejabatnya tawar menawar soal pembagian porsi pajak atas dasar mayoritas untuk daerah dan pusat hanya diberi porsi minoritas, maka ini lebih federal dari federal murni.

Barangkali ini memang ekstrem karena sudah telanjur terbenam dalam retorika.

Misalnya orang Aceh, orang Riau, orang Kaltim, orang Bali dan orang Irian sudah terbiasa bicara soal hasil LNG Arun, minyak Duri, LNG Badak, devisa wisata dan tembaga Freeport disedot habis oleh Pusat Jakarta dan daerah hanya diberi ampas sekian permil. Karena itu secara ekstrem mereka ingin membalikkan porsi kalau dulu daerah hanya kecipratan remah-remah atau sisa tip dari pusat maka akan dibalik menjadi daerah menguasai mayoritas sampai 80% baru pusat diberi tip 20 persen. Lucunya ada pejabat Birokrasi Pusat yang langsung menjawab barangkali karena juga tidak pernah mempelajari secara empiris. Mbok jangan minta 80%, bagaimana kalau fifty fifty saja antara pusat dan daerah. Saya tidak tahu, bagaimana nasib negara Republik Indonesia modern ini kalau para elitenya berdebat tentang federal seolah anti-AIDS, tapi sebetulnya tidak pernah membaca buku atau kajian atau data dan fakta empiris tentang seluk beluk Negara Federal dan aturan main antara Pemerintah Federal dan Negara Bagian. Selaku anggota MPP PAN saya ingin menegaskan bahwa lontaran isu oleh Sekjen PAN Faisal Basrie, tentang Negara Federal justru supaya mencegah orang-orang ekstrem yang reaksioner antisistem manunggal otoriter Soeharto menuntut hal-hal ektrem tanpa dibarengi dengan studi empiris tentang mekanisme perimbangan keuangan yang adil dan proporsional. Sebab debat kusir antara orang yang tidak pernah belajar soal Federalisme, dengan pejabat yang panik dan main tawar fifty fifty, justru akhirnya akan menghasilkan kondisi yang lebih federal atau "embahnya federal" tapi dengan tetap memakai bendera Negara Kesatuan. Kalau satu Negara Kesatuan sampai memberi porsi pajak mayoritas atau fifty fifty kepada daerah, maka negara itu sebetulnya sudah lebih federal dari "embahnya Federal" yaitu AS. Jadi selama beberapa bulan ini kita telah berdebat antifederal dengan semangat bagaikan anti-AIDS, tapi dalam berdiskusi tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah, justru virus "embahnya federalis" itu yang dominan dan telah menguasai retorika elite kita. Negara "Ninja"

Sementara itu, jika ditanah air kita sedang berada dalam kemelut perang saudaraantara dukun santet dan mafia ninja sehingga kita jatuh dalam praktek Negara Ninja maka Yasser Arafat dan Benyamin Netanyahu disaksikan Raja Hussein dan Presiden Clinton baru saja menandatangani kesepakatan damai Israel Palestina. Kata-kata yangdiucapkan Yasser Arafat sangat menyentuh hati manusia.

Saya menjamin bahwa kita semua komited terhadap keamanan setiap anak, wanita dan pria Israel. Saya akan melakukan segalanya yang saya bisa, sehingga tidak akan ada lagi wanita Israel yang khawatir bila anak-anaknya pulang terlambat. Itulah kata-kata pemimpin Palestina yang mencerminkan kenegarawanan yang luar biasa. Karena itu saya sedih dan prihatin membaca dan mendengar irama adu domba, caci maki, saling bunuh dan saling fitnah di antara sesama bangsa Indonesia, notabene pribumi dan sesama Muslim. Saya adalah keturunan Cina yang dibesarkan di sekolah Katolik tapi masuk dalam kancah politik sekuler melalui sdr Nono Makarim di Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia dan Harian Kami. Di situ saya berjumpa Goenawan Mohamad dan Fikri Djufrie. Saya tidak melihat kenapa saya harus "berhantam" dengan mereka karena saya Kristen dan mereka Islam atau karena saya nonpri dan mereka pri. Dalam suasana "sekuler" dan tidak mempersoalkan atribut primordial itulah saya tumbuh dengan solidaritas terhadap sesama bangsa, sesama manusia, sesama pejuang demokrasi dan HAM tanpa membedakan asal-usul keturunan dan latar belakang agama.

Masalah agama adalah urusan vertikal antara makhluk insani ciptaan Tuhan dengan Sang Pencipta dan kita tidak boleh mengatasnamakan Tuhan untuk membunuh orang lain dengan dalih mewakili Tuhan. Karena itu artikel BS Mardiatmadja tentang Berapa Harga Sebuah Nyawa, merupakan satu rintihan kemanusiaan yang mewakili manusia Indonesia yang terbunuh selama 53 tahun Indonesia Merdeka oleh kekuatan berhala yang berlindung di balik Negara, Kekuasaan dan Teroris Anarkis. Sejak kita merdeka, berapa banyak nyawa telah terbunuh karena pertikaian politik yang ambisius dan Machiavelis baik dalam pelbagai pembrontakan maupun insiden culik dan bunuh antara sesama lawan politik.

Lebih banyak lagi manusia yang tidak bernama, yang hanya orang kecil yang dilupakan dan dibantai hanya karena mereka rakyat biasa. Jika kasus mereka unik seperti Marsinah, Udin dan Ita, mereka sempat masuk koran walaupun dibumbui fitnah dan isu yang mendiskreditkan mereka seperti Udin dan Ita.

Tapi kita sebagai bangsa telah melakukan kejahatan perang terhadap sesama bangsa seperti yang tengah terjadi juga di Jawa Timur oleh Ninja lawan santet dan bahkan mengorbankan orang gila, pasien RS Jiwa. Saya bersimpati pada Dr Pandu, direktur RS Jiwa Lawang yang menyesalkan pembunuhan terhadap pasien sakit jiwa. Barangkali para pembunuh itu menganggap pasien sakit jiwa lebih murah nilainya dari orang biasa, sedang orang biasa saja tidak dihargai oleh pejabat negara yang lebih mementingkan berhala yaitu "kepentingan nasional" atau "stabilitas politik" atau segala macam retorik yang memuakkan dan menjijikkan.

Bulu roma saya berdiri memikirkan kejahatan yang sedang berlangsung di tanah air yang dicampur dengan isu adu domba SARA yang jahat dan penuh fitnah.

Rumah, kantor dan keluarga saya juga masih terus diteror oleh orang yang menuntut supaya saya berhenti menulis kritis tentang situasi tanah air.

Hari Jum'at 23 Oktober juga masih ada demo (bayaran?) yang menuntut Amien Rais, saya dan Junus Aditjondro untuk datang ke Kejagung menjernihkan soal harta Soeharto. Karena saya mendengar pidato Arafat langsung dari White House, maka saya tetap berani menulis Analisis ini.

Memperhatikan perkembangan tanah air yang masih terus bergejolak dalam kemelut ketidakpastian hukum tapi yang juga sudah back to business as usual di kalangan sebagian elite Jakarta dengan pesta kawin di hotel bintang lima yang megah mewah saya hanya ingin berdoa semoga bangsa Indonesia dipimpin oleh elitenya segera bertobat agar dihindarkan dari kutukan menjadi Sodom dan Gumora berbentuk Negara Ninja. Karena itu salah satu acara saya di Portland pada hari

Saptu 31 Oktober ini adalah memberi ceramah di depan Permias gabungan Eugene, Corvalis dan Portland serta masyarakat Indonesia di Oregon dan Washington State dengan tema Indonesia Bertobat. Terkadang saya merasa sudah capai sebab jika saya anggota ABRI saya sedang MPP (masa persiapan pensiun).

Karena umur saya akan 55 tahun pada tahun 2000 dan bersama Nono Makarim sudah berjuang di bidang pers sejak Harian Kami tahun 1966. Jadi persis seperti Soeharto sudah 32 tahun, dan kadang kadang saya juga merasa capek dan kapok menjadi wartawan.

Menulis terus tidak digubris, seperti kata pepatah anjing menggongong kafilah kolusi, kafilah ninja, kafilah santet, kafilah anarki dan kafilah teror berjalan terus. Tidak menulis, saya dituntut oleh hati nurani untuk terus menulis.

Melalui kesempatan ini saya juga ingin menegaskan bahwa jika suatu saat analisis ini tidak muncul lagi, maka anda sekalian mengetahui bahwa saya tidak tahan dengan teror terhadap keluarga saya dan rumah saya yang sudah saya laporkan melalui tiga pengacara saya.

Akhir-akhir ini sakit maag saya juga sering mengganggu dan saya juga masih trauma dengan virus Hepatitis C yang menginfeksi tubuh saya 10 tahun yang lalu di RS Husada Jakarta. Namun barangkali justru karena virus itu, saya mendapa kekuatan iman untuk terus berjuang dan memanfaatkan hidup ini untuk memenuhi panggilan Hati Nurani dan menyuarakan Kebenaran Illahi. Bagian ini mirip doa atau kotbah, tapi memang tanah air kita memerlukan pertobatan.

Karena bagian dunia lain seperti Irlandia telah mengakhiri perang 30 Tahun Katolik Protestan, begitu pula Israel Palestina bisa berdamai. Alangkah tragisnya jika sesama bangsa Indonesia tetap berperang saudara, terpecah belah karena agama, karena mazhab, karena sekte, karena etnis, karena ras. Lebih celaka lagi, semua itu ternyata hanya ambisi egois selfish segelintir oknum ekstrem yang secara Machiavelis mengeksploitir "indolensi" massa ke arah situasi konflik yang berkepanjangan dan biadab seperti praktek Ninja, fitnah dan teror anarkis yang berlaku di negara kita akhir-akhir ini. Suatu Indonesia yang bertobat tentu memerlukan elite yang menjadi panutan dan memimpin pertobatan seperti kota Ninive mohon ampun kepada Tuhan dan diampuni karena ketulusan dan keseriusan ummat yang bertobat. Selaku anggota MPP PAN maupun selaku kakek dari cucu yang tercerabut dari akarnya, bumi Indonesia dan harus merantau untuk menghindari trauma teror di tanah airnya sendiri, saya ingin mengajak seluruh elite kita untuk melakuan pertobatan Nasional. Alangkah indahnya, bila Presiden Habibie dan seluruh elite yang bertengkar sekarang ini bisa berpidato seperti Arafat: Mulai saat ini saya menjamin bahwa tidak akan ada lagi orang Indonesia yang khawatir istri dan anak gadisnya diperkosa atau dibunuh dan suami atau ayah dan anak lakinya disantet atau dicelurit oleh ninja.

Mulai saat ini, kami elite Indonesia akan menghentikan dan menindak serta mengadili para pemerkosa, penculik dan pembunuh, dari mana pun. Saya rasa doa pertobatan seperti itu belum terlambat untuk diucapkan pada 70 Tahun Sumpah Pemuda 28 Oktober 1998.

Kalau tidak saya khawatir, kita bukan saja tidak memiliki negara Federal Indonesia, tapi bahkan hancur cerai-berai menjadi Republik Santet, Negara Ninja dan entah Republic of Rape atau Republic of Riot. ****