KOALISI PEREMPUAN MELANCARKAN PROTES KE DEPARTEMEN HANKAM.

Suara Pembaruan, 20 July 1998

Sekitar 100 perempuan dari berbagai organisasi maupun individu yang tergabung dalam Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPIKD), hari Jumat (17/7) melancarkan aksi protes terhadap maraknya perkosaan dan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan sejak pertengahan bulan Mei.

Para pengunjuk rasa yang mendatangi Kantor Departemen Pertahanan Keamanan di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, tersebut, juga menuntut ABRI selaku penjaga keamanan untuk memberi penjelasan dan pertanggungjawabannya kepada rakyat mengenai 168 korban perkosaan.

Dengan mengenakan pakaian putih-putih dan menggenggam seikat bunga, masing-masing pengunjuk rasa mengacungkan spanduk atau poster bertuliskan "Malapetaka Perkosaan, Malapetaka Kemanusiaan", "Kau Lukai Satu Perempuan, Kau Lukai Semua Perempuan", "Kami Menentang Rasisme", "Perempuan Indonesia Marah!", "Ini Bukan Perkosaan Amoy, Ini Perkosaan Perempuan", "Indonesia, Republik of Fear, Republic of Terror, Republic of Rape."

Ketika mendekati Kantor Dephankam, pengunjuk rasa yang berjalan mulai dari Tugu Monas ini, sempat dihadang petugas keamanan yang menghendaki agar hanya wakil-wakil KPIKD saja yang masuk dan mempersilakan yang lainnya menunggu di seberang jalan. Setelah negosiasi, akhirnya hanya tiga wakil KPIKD yang diizinkan masuk sedangkan selebihnya menanti di trotoar depan Dephankam.

Dalam pernyataan sikap yang dibacakan Chusnul Mariyah, yang bersama Ita F Nadya dan Titi Soentoro bertemu dengan Karo Humas Dephankam Kol. FX Bachtiar, KPIKD menyampaikan hasil investigasi awal Tim Relawan untuk Kemanusiaan Divisi Kekerasan Terhadap Perempuan, mengenai tercatatnya 168 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual sejak peristiwa kerusuhan pertengahan Mei 1998. Sebanyak 20 di antaranya meninggal dunia akibat perbuatan keji tersebut dan masih banyak korban lain yang belum bersaksi.

''Ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang paling dahsyat,'' sambung Ita.

Perkosaan massal ini, menurut KPIKD, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kerusuhan, perusakan dan pembakaran. KPIKD mensinyalemen berperannya suatu jaringan perencana dan pelaku yang menyiasati serangan sistematis dan terorganisir sebagai modus operandi yang sama-sama berlaku dalam serangan perusakan, pembakaran maupun perkosaan dan kekerasan seksual terhadap kaum perempuan Tionghoa.

''Kami mengecam perkosaan dan kekerasan seksual sebagai senjata teror, kekuasaan dan pengendalian amat keji dan menakutkan dan berkekuatan menghancurkan seluruh hidup dan martabat perempuan,'' tegas KPIKD.

Penggunaan senjata biadab ini tidak hanya terjadi pada peristiwa kerusuhan Mei di Jakarta, tetapi berulang juga berlangsung di berbagai wilayah lain seperti Irian Jaya, Aceh dan Timor Timur.

''Kami mengingatkan bahwa perangkat hukum internasional menetapkan perkosaan masal dalam kondisi konflik dikategorikan dalam kejahatan atas kemanusiaan atau crime against humanity,'' jelas Chusnul.

Ita menyebutkan, belasan perkosaan serupa juga berlangsung di Bandung. Data-data awal sudah diperoleh, tetapi pihaknya masih memverifikasi lebih dalam dan akan mengumumkan hasilnya kemudian.

KPIKD yang beranggotakan sekitar 100 organisasi, juga mengutuk segala intimidasi dan teror yang masih ditujukan kepada kepada para korban, keluarga dan komunitasnya. Para profesional medis dan tim relawan tidak luput dari teror serupa. ''Kami menuntut pertanggungjawaban aparat keamanan dan sangat menyesalkan sikap aparat negara atas peristiwa yang seharusnya tidak terjadi,'' tandas Chusnul.

Fungsi ABRI
KPIKD juga menilai ABRI tidak berhasil menjalankan fungsinya sebagai penjaga keamanan. Sebaliknya, kini masyarakat makin mengidentifikasi teror, intimidasi, penyiksaan, penculikan, perkosaan bahkan pembunuhan dengan aparat militer. ''Kepercayaan masyarakat makin terpuruk dengan adanya tujuh oknum anggota Kopassus yang terlibat dalam aksi penculikan para aktivis,'' ujarnya.

Oleh karena itu, KPIKD atas nama korban kerusuhan dan perkosaan maupun seluruh rakyat Indonesia mempertanyakan apakah ABRI masih pantas diberi tanggung jawab atas keamanan masyarakat?

''Karena itulah kami menuntut penjelasan dan pertanggungjawaban pimpinan ABRI kepada rakyat,'' tegas KPIKD.

Kol FX Bachtiar mengatakan, apa yang terjadi memang patut disesalkan dan berjanji akan menyampaikan pernyataan sikap ini kepada Menhankam/Pangab. Jenderal TNI Wiranto. ''Apa yang terjadi memang patut disesalkan dan betapa pekanya ibu-ibu terhadap masalah ini,'' tutur Bachtiar.

Dari Palembang
Sementara itu dari Palembang dilaporkan, jumlah korban pelecehan seksual di daerah ini ketika terjadi aksi kerusuhan massa 14 dan 15 Mei lalu yang diterima Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (TRUK) Sumatera Selatan hingga Jumat (17/7) sudah mencapai 225 korban. Jumlah ini diperkirakan masih akan terus bertambah, karena keberadaan TRUK yang dibentuk 1 Juli lalu belum banyak diketahui masyarakat Sumatera Selatan.

Koordinator TRUK Sumsel, Romo I Bambang Alriyanto Pr didampingi Kepala Devisi Informasi, Br Silvester Sarjoko SCJ dalam percakapan dengan Pembaruan di Palembang hari Jumat (17/7), ke-225 korban pelecehan seksual itu dihimpun TRUK melalui laporan langsung dari keluarga korban dan informasi yang disampaikan melalui faksimili ke Sekretariat TRUK di Kompleks Gereja Methodis Jl Kolonel Atmo Palembang. Laporan maupun informasi yang masuk itu, belum diserahkan kepada pihak-pihak berwenang, karena masih diproses melalui mekanisme entry kasus, investigasi, edit data, record data, editing, validasi, rekapitulasi dan terahir analisa data.

Dikatakan, dari sebagian laporan dan informasi yang diproses saat ini sudah memasuki tahap record data dan hasilnya menunjukkan sebagian besar laporan dan informasi itu positif sebagai korban pelecehan seks karena didukung bukti-bukti kongkret.

Romo I Bambang Alriyanto tidak membantah kemungkinan korban pelecehan seks di Kotamadya Palembang ini ada yang melaporkan langsung ke Tim Relawan pelecehan seks korban kerusuhan di Jakarta. Sebab selama ini, belum ada tim relawan pelecahan seks. Kemungkinan lain, mereka diancam oleh si pelaku dan demi terjamimnya keamanan, maka korban terpaksa melapor ke tim relawan di Jakarta. Bambang Alriyanto mengatakan, hingga saat ini pihaknya belum melaporkan temuan mereka ini ke pihak mana pun, termasuk ke Komnas HAM.

Sementara itu Kepala Devisi Informasi TRUK Sumsel, Br Silvester Sarjoko SCJ mengatakan, ke-225 korban pelecehan seks itu bukan hanya dari keturunan Tionghoa, tapi ada juga dari keturunan WNI dan suku lainnya di Indonesia. Sehingga investigasi yang kami lakukan menggunakan istilah lintas agama, karena melibatkan pemuka agama sesuai agama yang dianut korban.

Walaupun demikian, TRUK yang diturunkan masih menemui banyak kesulitan untuk mendapatkan data kongkret dari para pelapor. Korban atau keluarga korban masih ragu tentang keamanan keluarganya, kalau kasusnya diceritakan. Sedangkan dari cerita para korban pelecehan seks, fenomenanya sama, ada kesan pelakunya seperti terorganisasi.(Y-2/SF/U-2)


BACK