JERITAN CINA KORBAN KERUSUHAN, SEBUAH DIALOG DI GLODOK.


Media Indonesia, July 07, 1998
Di antara toko-toko yang hangus terbakar atau tinggal puing-puing berserakan, ada juga beberapa toko yang masih tersisa oleh amukan massa tanggal 14 Mei lalu. Tidak utuh lagi, sebab semua isinya sudah ludes digasak penjarah. Dari salah satu toko itu, tersembul sebuah papan lusuh dengan tulisan sekenanya, "Ruko Kosong. Dikontrakkan."

Di sudut dalam toko itu seorang laki-laki setengah baya tampak sibuk menandatangani lembaran kuitansi. Di sisi lainnya beberapa teknisi sebuah supplier barang elektronik dan karyawan sedang sibuk mengutak-utik pesawat televisi. Laki-laki itu agaknya sedang gundah, terlihat raut mukanya yang muram.

"Selamat siang, Pak. Apakah bapak pemilik toko ini ?" tanya saya mengampiri karena tertarik pada papan reklame sederhanan yang dipasang.

"Betul," jawabnya singkat sambil terus sibuk dengan pekerjaannya.

"Maaf Pak, " saya tertarik dengan reklame itu, boleh saya tanya sesuatu?" tanya saya sambil menunjuk papan reklame di depan toko. Lelaki keturunan Tionghoa itu kemudian menoleh, menghentikan pekerjaannya.

"Anda siapa? tanyanya lagi, singkat.

"Boleh tanya mengapa Anda ingin mengontrakkan toko ini?" saya balik bertanya.

"Oh, tidak ada lagi kemanan dagang di sini. Tapi kalau mau lebih jelas, nanti saja kalau bos ada. Sekarang bos sedang tidak ada," katanya kembali bekerja.

"Oh, begitu. Boleh saya tanya yang lain. Soal pembauran pri dan nonpri?" tanya saya lagi.

"Wah, maaf saya tidak bisa membantu, saya tidak mau mengenang luka yang baru terjadi, sekali lagi mohon maaf," sergahnya sambil menundukkan kepala lebih dalam. Ketika mendongak sedikit, terlihat raut kesedihan di wajahnya. Malah, dari balik kacamata tebalnya terlihat linangan air mata mulai menggenang.

Beberapa pegawai dan teknisi yang ada di tempat itu serta merta menghentikan pekerjaannya. Melengos sebentar sambil tertegun, lalu menunduk dan hanyut dalam kesedihan sang majikan. Salah seorang di antaranya mencoba tersenyum menatap saya, Namun tampak senyum itu hambar dan dipaksakan.

Melihat suasanan seperti itu, kembali saya meminta maaf dan segera pamit. "Maaf pak, permisi," ujar saya sambil ngeloyor pergi yang diikuti oleh anggukan kecil lelaki tersebut.

Lelaki itu, hanya merupakan salah satu korban kerusuhan dan penjarahan yang terjadi di kawasan Glodok dan Jakarta pada 14 Mei lalu. Masih banyak lagi yang mengalami nasib serupa, bahkan mungkin lebih kejam. Sebab konon bukan hanya tokonya yang dijarah atau dibakar massa, tapi ada juga penghuninya yang diperkosa, dibunuh dan dibakar hidup-hidup di dalam toko miliknya.

Di toko lainnya, di tempat yang sama, terjadi kegiatan serupa. Berbeda dengan lelaki setengah baya yang masih trauma dengan musibah 13-14 Mei lalu, A Hok demikian panggilan karyawan salah satu toko yang hangus dibakar tampak masih bersemangat menerima telepon dari pelanggannya. Kendati di dalam toko tidak terdapat satu pun barang elektronik yang dipajang, dia tetap melakukan kegiatan usahanya.

"Habis, mau bagaimana lagi, Pak, sekarang hanya ini yang bisa kita lakukan. Daripada nganggur di rumah, lebih baik begini, mudah-mudahan masih ada rezeki buat makan, " katanya.

Seminggu setelah kerusuhan atas saran bosnya, dia bersama karyawan lain, membuka kembali toko tempatnya bekerja. Tapi hanya bermodalkan sebuah meja dan beberapa pesawat telepon.

"Supaya pelanggan kami tidak putus, dan pertanda usaha toko masih tetap jalan, " katanya. Karena tidak ada lagi barang dan suplai dari pabrik, mereka hanya menjual omong kepada pelanggan.

"Sekarang kita mirip calo, makelar aja. Kalu ada pesanan yang jadi, baru barangnya kita ambil dari pabrik dan kirim ke pemesan," paparnya.

Soal mengapa tidak memajang barang di tokonya, A Hok menjelaskan tokonya sudah rusak berat, hanya tinggal puing-puingnya sehingga tidak ada yang mau menyimpan barang di tempat tersebut. Selain itu baik pemilik toko maupun suplier tak berani mengambil risiko memajang barang dagangan. "Siapa yang berani ambil risiko? Keamanan saya belum ada yang berani menjamin."

A Hok juga menuturkan saat ini dari tiga orang bos pemilik toko tempatnya bekerja, baru dua yang pulang dari luar negeri. Mereka jarang mampir ke toko yuan gtelah dirintis sejak 5 tahun lalu. Salah seorang dari mereka, pada awalnya selalu menangis dan pingsan saat melihat toko miliknya porak poranda dan tinggal puing-puing itu. dia merasa begitu sedih karena usaha yang telah dirintis sejak bertahun-tahun musnah dalam sekejap tanpa bisa melakukan sesuatu.

Beruntung A Hok dan teman sekerjanya yang orang pribumi tidak diberhentikan dari pekerjaannya. "Tapi siapa yang kuat, kalau keadaan ini berlarut-larut," ujar pekerja lainnya. Rasa waswas mereka pun kerap muncul, takut bila bos meminta mereka untuk berhenti bekerja. "Kalau keadaan normal dan banyak barang di sini, kita tidak terlalu khawatir diberhentikan karena bos pasti bakal kasih pesangon yang lumayan. Nah, ini barang aja nggak ada, mau kasih pesangon apa ?" keluhnya.

Karena itu, lanjut mereka, kalau suatu saat tiga huruf yang tidak dikehendaki itu keluar yakni P,H dan K (pemutusan hubungan kerja), mereka merencanakan akan mengumpulkan sisa uang yang ada untuk membeli tiket pesawat dan pergi ke luar negeri.

"Saya sudah punya visa dari kepergian saya tahun lalu ke Amerika. Jadi tidak terlalu sulit ke luar negeri," kata A Hok.

"Dari mana, lu punya duit, emangnya gampang cari duit sekarang." temannya menimpali.

"Kalau perlu jual rumah. Biar harga murah yang penting bisa berangkat," ujar A Hok.

"Lantas lu mau kerja apa di sana, apa lu mau jadi tukang sapu atau tukang cuci piring di restoran atau kalau lu pergi ke Selandia Baru jadi petani, nyangkul," ejek temannya.

"Kerja apa kek, yang penting dapat duit. Kalau sudah dua tahun, punya 10-15 ribu dolar, kembali ke sini untuk buka usaha," sergah A Hok lagi.

Menurut A Hok, sejak lahir dia sudah berada di Indonesia, sekolah di sini, cari makan di sini. Jadi Indonesia sudah jadi miliknya, menjadi dagingnya. "Di sini juga saya akan kembali ujarnya sambil melantunkan lagu Koes Plus, Ke Jakarta aku kan kembali, walaupun apa yang kan terjadi. Dijawab teman-teman lainnya sambil tertawa gelak yang getir.

A Hok menceritakan, sebelum kerusuhan dan penjarahan Mei lalu, toko tempatnya bekerja cukup laris dan memiliki banyak pelanggan. "Untuk AC saja, kita bisa jual 30-40 unit per hari. Belum lagi barang lain seperti lemari es, televisi, mesin cuci, radio tape, VCD player dan lain-lain, " katanya.

Kawasan Glodok memang terkenal sebagai pasar penjualan barang elektronik di Indonesia. Puluhan, bahkan mungkin ratusan pabrik barang elektronik berkiblat di daerah pertokoan di Jakarta Barat ini. Dari sini pulalah distribusi seluruh barang elektronik itu berawal.

Kini, kawasan itu tampak menghitam, sisa dari kepulan asap dan bangunan yang terbakar. Masih tampak sepi dan lengang, hanya satu-dua pengunjung yang mencoba mencari barang. Itu pun sulit diperoleh karena sebagian besar toko hancur dan masih banyak yang belum buka.

"Sepi, Pak. Paling pelanggan yang datang dan bertanya-tanya, hanya 2-5 orang. Tapi yang telepon banyak. Itupun mintanya harga murah, sebab dia pikir masih ada stok lama yang tersisa, " papar A Hok.

Itulah orang Tionghoa, kendati kondisi susah dan peluang usaha amat kecil tapi upaya tetap berjalan. Tidak peduli apakah seharian, mingguan atau bulanan tidak ada orang beli barang. Gigih, itulah ciri bisnis orang Cina.

Tak salah jika anekdot Tionghoa menyebutkan bahwa selama mereka belum mendapat keuntungan yang memadai, makan bubur pun dilakoni. Nah, mampukah pribumi bersaing dengan mereka? Insya Allah.


BACK