ISTILAH PRIBUMI DAN NON PRIBUMI SEBAIKNYA DITIADAKAN.
Dari DISKUSI PANEL KONSEP PEMBAURAN ANALISA
Medan, 5 Juli 1998
Dari diskusi panel tersebut,Rektor UMA Ir.Zulkarnen Lubis MS memaparkan beberapa kendala
yang menghambat konsep pembauran yang kurang berhasil di daerah ini.
Ia mengemukakan kerusuhan yang ditimpakan kepada etnis Tionghoa berupa perampokan, penjarahan
bahkan pemerkosaan berhubungan dengan masalah pembauran.
BEKERJA ULET
Namun Zulkarnen mengatakan, kondisi ekonomi etnis Tionghoa yang lebih baik didapatkan
karena bekerja ulet, telaten, rajin dan dapat dipercaya dalam menjalankan usahanya.
Sedangkan Kadit Sospol Sumut Zulfirman Siregar yang mewakili Gubsu membuka Diskusi Panel
itu mengatakan untuk mewujudkan konsep pembauran diperlukan pemikiran yang matang dan
pribadi yang benar-benar tulus dari pihak pribumi dan non pribumi.
Namun Gubsu bertanya untuk mempercepat proses pembauran apakah istilah non pribumi masih
layak dipakai.
Sementara dari peserta diskusi, mengatakan lebih baik istilah non pribumi dihapuskan
saja karena istilah ini tidak mendukung proses pembauran. Sebagai contoh bila si A
memukul si B yang warga pribumi disatu, lalu diberitakan koran yang menuliskan si A
adalah warga non pribumi atau WNI keturunan, hal ini bisa menyulut api kemarahan.
Dalam kaitan ini Ketua PWI Sumut, H Zaki Abdullah yang juga pembicara dalam diskusi
ini mengatakan dalam pemberitaan seperti itu etnis tertentu itu tidak perlu ditulis.
Hal ini menurut Zaki sesuai dengan fungsi media massa yang tertuang dalam undang-undang
Pokok Pers No 21 tahun 1982 pasal 2 ayat 2. Pada poin itu antara lain ditegaskan fungsi
pers untuk menggelorakan semangat pengabdian perjuangan bangsa, memperkokoh persatuan
dan kesatuan nasional.
Dengan fungsi yang demikian mulia itu media massa telah berupaya menciptakan suasana aman
dan tertib dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga proses pembauran antara warga
non pribumi dan pribumi dapat berjalan dengan baik.
Sedangkan salah seorang tokoh pembauran dr. Sofyan Tan berpendapat, untuk menciptakan
kerukunan hidup warga keturunan Tionghoa dan warga pribumi, sudah saatnya dizaman reformasi
diskriminasi dihapuskan.
Ia berpendapat, warga keturunan Tionghoa lebih berbakat di bidang ekonomi karena pemerintah
tidak memberikan kesempatan untuk menjadi pegawai negeri misalnya. Bahkan untuk memasuki
perguruan tinggi negeri pun diperlakukan tidak adil, dimana persentasi etnis Tionghoa sangat
minim bisa memasuki perguruan tinggi negeri yang nilai wadah tersebut salah satu mempercepat
proses pembauran.
Demikian juga pada nomor KTP, yang secara terang-terangan adanya pembedaan. Untuk mempercepat
proses pembauran itu, Sofian mengatakan diperlukan ketulusan hati yang bersih dan tidak
saling mencari kekurangan, tetapi nilai lebih dari kedua pihak ini dipadukan menjadi satu.
BUKAN MASALAH PEMBAURAN
Sementara peserta diskusi lainnya menyatakan, kerusuhan yang terjadi belum lama ini bukanlah
masalah ketidak berhasilan pembauran, karena di Jawa etnis Tionghoa yang sudah lama berbaur
bahkan tidak bisa berbahasa leluhur tapi juga korban penjarahan, perampokan bahkan pembunuhan.
Sedangkan kalau bicara soal nasionalis misalnya, dari kalangan non pribumi dinilai tidak kalah
dari pribumi. Sofian mencontohkan Hendrawan berjuang mati-matian mengharumkan nama bangsa
Indonesia dalam memperebutkan Piala Thomas, namun ironisnya, keluarganya di Jakarta menjadi
korban amuk masa. Lalu dimana letak masalahnya ?
Sementara Ketua Bakom PKB Sumut Juswan mengatakan, pembauran itu tidak bisa dipaksakan
karena prosesnya harus berkembang secara alami. Proses pembauran paksa dari perkawinan pada
akhirnya akan menghasilkan janda-janda muda karena cerai. Untuk itu, katanya biarlah pembauran
itu berproses secara alami. |