ISTILAH PRIBUMI DAN NON PRIBUMI SEBAIKNYA DITIADAKAN.
Dari DISKUSI PANEL KONSEP PEMBAURAN
ANALISA

Medan, 5 Juli 1998
Diskusi panel tentang konsep pembauran antara pribumi dan non pribumi yang diselenggarakan Universitas Medan Area Sabtu (4/6) di Hotel Garuda Plaza berlangsung menarik diiringi dialog hangat peserta.

Dari diskusi panel tersebut,Rektor UMA Ir.Zulkarnen Lubis MS memaparkan beberapa kendala yang menghambat konsep pembauran yang kurang berhasil di daerah ini.

Ia mengemukakan kerusuhan yang ditimpakan kepada etnis Tionghoa berupa perampokan, penjarahan bahkan pemerkosaan berhubungan dengan masalah pembauran.
Apalagi jurang pemisah ini makin dalam diakibatkan golongan yang kaya didominasi etnis Tionghoa yang lebih suka eksklusif, sehingga menimbulkan rasa iri dan frustasi yang pada akhirnya menyulut kekerasan dan kerusuhan.

BEKERJA ULET

Namun Zulkarnen mengatakan, kondisi ekonomi etnis Tionghoa yang lebih baik didapatkan karena bekerja ulet, telaten, rajin dan dapat dipercaya dalam menjalankan usahanya.

Sedangkan Kadit Sospol Sumut Zulfirman Siregar yang mewakili Gubsu membuka Diskusi Panel itu mengatakan untuk mewujudkan konsep pembauran diperlukan pemikiran yang matang dan pribadi yang benar-benar tulus dari pihak pribumi dan non pribumi.

Namun Gubsu bertanya untuk mempercepat proses pembauran apakah istilah non pribumi masih layak dipakai.
Gubsu berpendapat, kata-kata pribumi dan non pribumi jangan ditujukan untuk membedakan asal keturunan , tetapi dijadikan sebagai pembeda warga negara atas perjuangandan pengabdiannya kepada bangsa seperti yang disebutkan Presiden Habibie.

Sementara dari peserta diskusi, mengatakan lebih baik istilah non pribumi dihapuskan saja karena istilah ini tidak mendukung proses pembauran. Sebagai contoh bila si A memukul si B yang warga pribumi disatu, lalu diberitakan koran yang menuliskan si A adalah warga non pribumi atau WNI keturunan, hal ini bisa menyulut api kemarahan.

Dalam kaitan ini Ketua PWI Sumut, H Zaki Abdullah yang juga pembicara dalam diskusi ini mengatakan dalam pemberitaan seperti itu etnis tertentu itu tidak perlu ditulis.

Hal ini menurut Zaki sesuai dengan fungsi media massa yang tertuang dalam undang-undang Pokok Pers No 21 tahun 1982 pasal 2 ayat 2. Pada poin itu antara lain ditegaskan fungsi pers untuk menggelorakan semangat pengabdian perjuangan bangsa, memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional.

Dengan fungsi yang demikian mulia itu media massa telah berupaya menciptakan suasana aman dan tertib dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga proses pembauran antara warga non pribumi dan pribumi dapat berjalan dengan baik.

Sedangkan salah seorang tokoh pembauran dr. Sofyan Tan berpendapat, untuk menciptakan kerukunan hidup warga keturunan Tionghoa dan warga pribumi, sudah saatnya dizaman reformasi diskriminasi dihapuskan.

Ia berpendapat, warga keturunan Tionghoa lebih berbakat di bidang ekonomi karena pemerintah tidak memberikan kesempatan untuk menjadi pegawai negeri misalnya. Bahkan untuk memasuki perguruan tinggi negeri pun diperlakukan tidak adil, dimana persentasi etnis Tionghoa sangat minim bisa memasuki perguruan tinggi negeri yang nilai wadah tersebut salah satu mempercepat proses pembauran.

Demikian juga pada nomor KTP, yang secara terang-terangan adanya pembedaan. Untuk mempercepat proses pembauran itu, Sofian mengatakan diperlukan ketulusan hati yang bersih dan tidak saling mencari kekurangan, tetapi nilai lebih dari kedua pihak ini dipadukan menjadi satu.

BUKAN MASALAH PEMBAURAN

Sementara peserta diskusi lainnya menyatakan, kerusuhan yang terjadi belum lama ini bukanlah masalah ketidak berhasilan pembauran, karena di Jawa etnis Tionghoa yang sudah lama berbaur bahkan tidak bisa berbahasa leluhur tapi juga korban penjarahan, perampokan bahkan pembunuhan.

Sedangkan kalau bicara soal nasionalis misalnya, dari kalangan non pribumi dinilai tidak kalah dari pribumi. Sofian mencontohkan Hendrawan berjuang mati-matian mengharumkan nama bangsa Indonesia dalam memperebutkan Piala Thomas, namun ironisnya, keluarganya di Jakarta menjadi korban amuk masa. Lalu dimana letak masalahnya ?

Sementara Ketua Bakom PKB Sumut Juswan mengatakan, pembauran itu tidak bisa dipaksakan karena prosesnya harus berkembang secara alami. Proses pembauran paksa dari perkawinan pada akhirnya akan menghasilkan janda-janda muda karena cerai. Untuk itu, katanya biarlah pembauran itu berproses secara alami.


BACK