PERMINTAAN MAAF ATAS KORBAN PERKOSAAN SEHARUSNYA DINYATAKAN PRESIDEN.
Oleh : APIK ( Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan ) SUARA PEMBAHARUAN
Sabtu, 4 Juli 1998
Pernyataan maaf dan mengecam perkosaan, seharusnya bukan hanya datang dari Menteri
Peranan Wanita tetapi terutama dari Presiden BJ Habibie dan Menteri Pertahanan Keamanan
/ Pangab Wiranto. Setelah itu, pemerintah harus menindaklanjutinya dengan memberi bantuan
materiil, medis, psikologis kepada korban dan keluarganya, selain terus menggencarkan
investigasi atas perkosaan itu.
Demikian rangkuman pendapat Direktur APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan)
Nursjahbani Katjasungkana, Direktur Eksekutif Mitra Perempuan, Rita Serena Kalibonso dan
Direktur Eksekutif PBHI, Hendardi yang dihubungi Pembaruan, Sabtu pagi.
''Seharusnya Presiden BJ Habibie sebagai penguasa tertinggi negara ini dan Menhankam/Pangab
sebagai penjaga keamanan yang meminta maaf kepada rakyat Indonesia dan khususnya para korban
perkosaan serta keluarga mereka,'' tegas Nursjahbani yang diminta komentarnya sehubungan
dengan pernyataan pemerintah melalui Menperta Tuty Alawiyah yang terkesan terlambat.
Hal senada dikemukakan Rita dengan mengatakan, permintaan maaf dan pengecaman terhadap
tindak perkosaan dari Presiden Habibie adalah yang paling ditunggu masyarakat.
Menurut Rita, ia dapat memahami lambatnya Menperta menyatakan pengutukan atas tindak
perkosaan itu karena semua itu melalui proses yang masing-masing pihak tidak sama.
Yang terpenting adalah tindak lanjut dari pemerintah dan ABRI untuk secara terbuka melaporkan
setiap hasil pengusutan kepada masyarakat.
Di sisi lain, Nursyahbani menilai pemerintah terkesan sangat keras kepala, kenapa tidak
kunjung meminta maaf meski masyarakat telah mendesak. Perkosaan massal yang berlangsung
13-15 Mei itu terkait dengan masalah politik, sehingga pemerintah tampak gagap dalam
merespons peristiwa itu. Namun, mestinya pemerintah semestinya lebih mementingkan sisi
kemanusiaan dari peristiwa ini.
Yang penting lagi kata Nursjahbani, adalah upaya pencegahan dilakukan dengan serius. Yakni
meninjau kembali undang-undang atau aturan yang menghambat orang untuk memproses kasus
perkosaan secara hukum sehingga korban bisa memperoleh bantuan segera. Ia mencontohkan
di negara lain termasuk Malaysia, ada wadah pelayanan terpadu bagi korban perkosaan
(one stop crisis centre) dimana departemen kesehatan, kepolisian, menteri
urusan wanita.
Hendardi mengatakan, pengecaman dan pengutukan dari Menperta itu terkesan semacam tekanan
politik, sehingga untuk meng-clear-kan itu, pemerintah dan aparat harus mampu
berbicara jujur mengenai kerusuhan 13-15 Mei lalu.
Pemerintah harus dapat melakukan koordinasi dengan LSM yang jauh lebih cepat dalam
mengumpulkan informasi guna mengungkapkan kasus ini. Jangan lagi bersikap konyol,
seolah-olah peristiwa perkosaan dalam kerusuhan Mei itu hanya isu atau tidak percaya.
''Tidak cukup hanya mengutuk karena tanpa proses selanjutnya, itu sama artinya seperti
memegang awan,'' ujar Hendardi.
Persoalan jaminan terhadap korban, keluarganya atau saksi-saksi juga harus konkret diwujudkan
oleh ABRI dan kepolisian. Jaminan keamanan baru mempunyai arti jika ABRI dapat membongkar
secara tuntas seluruh kasus dan menjawab secara jujur mengapa ABRI menghilang sewaktu
kerusuhan terjadi.
Kepada kelompok masyarakat Tionghoa yang rentan terhadap berbagai kasus political
rasialis, Hendardi mengemukakan agar mereka jangan lagi mengisolasikan diri tapi ikut
terus memperjuangkan hak-hak sipil dan politik mereka yang selama ini tidak mereka dapatkan.
''Sesungguhnya jaminan keamanan hidup setiap masyarakat ada pada supremesi hukum dan
demokrasi, bukan hanya dari aparat keamanan,'' tegas Hendardi.
Menperta Alawiyah hari Jumat dalam diskusi di Kampus UI mengatakan sebagai pribadi dan wakil
pemerintah mengutuk peristiwa perkosaan. Para pelaku, menurutnya harus diusut dan disidangkan
dengan hukuman maksimum.(MH/Y-2) |