ITA FATIA NADIA DAN PENGADUAN PERKOSAAN
KOMPAS OnLine
Kamis, 2 Juli 1998
SUASANA bingung bercampur marah, siang itu terasa di kantor Kalyanamitra,
di kawasan Kalibata, Jakarta. Selama beberapa jam, kantor seperti lumpuh
karena dua pesawat telepon mendadak mati. "Bagaimana bisa begini, cuma rumah
ini saja yang mati, rumah-rumah tetangga teleponnya nggak ada masalah," kata
Ita Fatia Nadia (40).
Direktur Kalyanamitra yang hari-hari belakangan ini sangat sibuk menerima pengaduan
kasus-kasus perkosaan yang terjadi pada 13-18 Mei, tak yakin saluran teleponnya tak
bisa digunakan cuma lantaran alasan teknis.
Meski menjelang sore akhirnya telepon kring kembali, Ita belum bisa menarik napas lega.
Sebab evakuasi korban yang direncanakan dilakukan hari itu, dikhawatirkan gagal karena
gangguan telepon itu. "Padahal kami sedang menunggu kepastian lewat telepon sesuai
pembicaraan sebelumnya. Begitu korban menentukan waktunya, kami berangkat. Kami khawatir
korban berubah pendirian karena adanya masalah ini," ujar Ita. Padahal, keterlambatan
bantuan konseling atau pendampingan, bisa berakibat fatal pada korban.
Ia pantas khawatir karena melakukan pendampingan dan pemulihan terhadap korban maupun
keluarga kasus perkosaan, harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Kondisi traumatis dan
rasa ketakutan yang begitu kuat, membuat korban sulit didekati. Sangat sulit diharapkan
korban mau mengungkap kasusnya supaya pelakunya segera bisa ditangkap, sebagaimana halnya
pada tindak kejahatan lain. Terlebih lagi melakukan rekonstruksi seperti yang umum dilakukan
pada peristiwa pidana. Meminta korban mengulangi pengalaman diperkosa, sama saja seperti
mengalami peristiwa tersebut dua kali.
"Ini yang sering tidak dipahami orang. Malah ada pihak-pihak yang menuntut supaya korban
membeberkan peristiwanya. Ini benar-benar keterlaluan dan sangat tidak mungkin. Ini
menunjukkan dia tidak memahami kasus perkosaan," tandas Ita.
SAMPAI sekarang pun masih banyak orang tidak percaya atas peristiwa penjarahan dan
bakar-bakaran di Jakarta, juga di kota lain pada Mei 1998. Namun bukti-bukti itu dengan
mudah didapat dari mayat-mayat yang ditemukan, dari bangkai-bangkai kendaraan, dari bekas
rumah dan gedung yang terbakar.
Tidak demikian dengan kasus perkosaan yang baru setelah kejadian muncul ke permukaan.
Bekas-bekas fisik sudah jelas tidak setransparan pada korban pembakaran atau perusakan.
Korbannya lebih memilih diam, kalau perlu menguburkan peristiwa traumatis yang pernah
dialaminya.
"Sedemikian kuatnya keinginan melupakan masa lalu, banyak korban perkosaan yang tiba-tiba
hanya mau bicara dengan bahasa ibu. Ini suatu bukti bagi korban perkosaan berusaha
menghilangkan identitasnya," ungkap Ita Fatia Nadia.
Karena itu kekesalannya memuncak ketika banyak orang menantang meminta data darinya untuk
membuktikan adanya peristiwa perkosaan itu. Mati-matian Ita yang duduk sebagai Koordinator
Tim Relawan untuk Kemanusiaan Divisi Perempuan, menyatakan akan menolak permintaan data korban
perkosaan yang diterima Kalyanamitra dari pihak mana pun. Bagi Ita, kepentingan korban berada
di atas kepentingan pihak mana pun. Lagi pula, dalam kasus seperti ini, kepercayaan dari korban
yang mengadu harus diutamakan. Ia tak mau korban kehilangan kepercayaan.
Untuk keperluan investigasi, konseling, pendampingan, dan lainnya, sebanyak 20 relawan dengan
sukarela menyatakan siap membantu. Tak cuma relawan dari Jakarta dan sekitarnya, seorang wanita
dari Riau bahkan langsung datang dan bergabung dengan relawan lainnya. Sementara untuk masalah
medis dan psikologis, sejumlah dokter, psikolog, dan psikiater bersedia menangani tanpa
bayaran.
Ita sendiri meluangkan waktu ekstra untuk urusan yang satu ini. Ibu dua anak ini tiap hari kini
pulang sekitar pukul 22.00 WIB. Hari Sabtu dan Minggu untuk sementara dilupakannya sebagai hari
libur karena menurut Ita ini adalah peristiwa perkosaan terbesar baik dalam jumlah maupun jenis
perlakuan yang diterima korban, yang pernah ditangani Kalyanamitra.
Sampai kapan investigasi dan verifikasi data akan dilakukan, Ita belum bisa memastikan waktunya.
Yang jelas dari data yang sudah masuk, Kalyanamitra sudah mendapat gambaran umum tentang pola
perkosaan yang terjadi bersamaan dengan peristiwa kerusuhan di Jakarta Mei lalu.
BERGABUNG dengan Kalyanamitra tahun 1993, Ita Fatia Nadia sebelumnya bukan orang asing di bidang
penegakan hak asasi manusia. Kepedulian terhadap orang-orang yang tersisih sudah tertanam sejak
kecil, lalu diwujudkan secara nyata saat dia duduk di bangku SLTA tahun 1977.
Pengaruh dari orangtuanya, terutama ayahnya yang aktif pada Partai Sosialis Indonesia, sangat
mempengaruhi pandangan Ita tentang kemanusiaan. Buat Ita yang ibunya memiliki darah Maroko,
bekerja untuk orang banyak, orang-orang kelompok bawah yang banyak terlupakan, merupakan
panggilan kemanusiaan.
Saat masih di bangku SLTA ia sudah bergabung dengan Romo Mangunwijaya di Yogyakarta, membantu
orang-orang miskin. "Bisa dikatakan saya kehilangan masa remaja saya. Artinya saya menjalani
masa remaja saya tidak sebagaimana remaja pada umumnya," tutur Ita Fatia. Diskusi dengan
teman-temannya, termasuk dengan Romo Mangun, semakin mempertajam keyakinannya untuk terus
membantu masyarakat miskin.
Tak terasa sekitar tujuh tahun (1977-1984) ia bergabung dengan aktivis kemanusiaan ini,
sampai akhirnya berangkat ke Australia bersama suaminya untuk keperluan belajar. Ketika
ia meninggalkan Yogya tahun 1985, sebuah perpustakaan untuk orang-orang miskin dia wariskan
kepada penerusnya untuk dikelola. Juga sebuah sekolah untuk masyarakat tak mampu ia serahkan
kepada Muhammadiyah untuk dikelola.
Sepulangnya dari Australia, Ita Fatia tidak kembali ke kota kelahirannya, tapi menetap di
Jakarta. Tahun 1991-1992, ia bekerja di Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Yapusham),
sebelum akhirnya diajak Sita Aripurnami Kayam yang sudah lebih dulu aktif di Kalyanamitra,
bergabung dengan LSM itu mulai 1993.
Masalah perempuan yang kini menjadi perhatiannya di Kalyanamitra menurut Ita merupakan bagian
masalah kemanusiaan dari perspektif perempuan. Untuk kasus-kasus tertentu, Kalyanamitra menjalin
kerja sama dengan lembaga swadaya (LSM) lain atau juga dengan aktivis-aktivis kemanusiaan lain.
Dalam kasus perkosaan yang disebutnya sebagai perkosaan massal Mei 1998, misalnya, Kalyanamitra
bergerak bersama LSM perempuan dan aktivis kemanusiaan Romo Sandyawan.
Tentang mitranya, Romo Sandyawan, Ita mengaku mulai kenal dekat setelah bersama-sama melakukan
investigasi terhadap korban kerusuhan 27 Juli 1996 dan ikut mendirikan Tim Relawan untuk
Kemanusiaan. Kesamaan misi dan tujuan, menghapus perbedaan-perbedaan di antara mereka. Kalau
ada apa-apa, mereka saling memberi informasi dan saling tolong.
Maka ketika Ita kena teror melalui telepon suatu malam dua pekan lalu, yang bingung bukan cuma
teman-teman di Kalyanamitra. Romo Sandyawan ikut risau dengan keselamatan Ita, sehingga dia
menyarankan Ita untuk mundur saja sebagai Koordinator Tim Relawan Kemanusiaan Divisi
Perempuan.
Meski teror tak berkelanjutan sampai tindakan fisik, tetap saja Ita harus hati-hati melangkah.
Soalnya si peneror pasti tidak main-main karena dia dengan persis bisa mengetahui peta keluarga
Ita sampai hal-hal yang detail. Bayangkan seorang ibu yang memiliki dua anak pasti akan
berpikir banyak jika terjadi apa-apa dengan dirinya.
BESARNYA masalah yang kini ditangani Kalyanamitra, membuat waktu Ita banyak tersita. Apalagi
rekan senior di LSM itu, Sita Aripurnami Kayam, diharuskan dokter istirahat total di tempat
tidur karena kehamilan bayi kembarnya berisiko pendarahan.
Kompromi dengan anak-anaknya ditempuh dengan mengajak kedua anaknya ke tempatnya bekerja,
termasuk ketika berkeliling menemui anggota Koperasi Solidaritas Pangan yang beranggotakan
5.000 orang dengan 40 simpul. Pada koperasi yang menjadi bagian dari Tim Relawan untuk
Kemanusiaan ini Ita ditugasi sebagai koordinator. Koperasi ini bergerak di bidang sandang
dan pangan untuk masyarakat bawah, yang sering terlupakan. Modalnya, berasal dari sumbangan
masyarakat. |