Soal Perkosaan Pemerintah Perlu Bentuk Tim Independen.
Kompas Online.

Rabu, 1 Juli 1998.

Jakarta, Kompas.
Sebagai wujud kepedulian pemerintah terhadap korban perkosaan serta sebagai bentuk perlindungan terhadap kelompok yang menangani perkosaan, pemerintah perlu segera mengeluarkan pernyataan mengutuk terjadinya tindak perkosaan pada kerusuhan 13-14 Mei. Pemerintah juga harus meminta maaf kepada masyarakat dan membentuk tim independen yang mampu melakukan investigasi tentang hal tersebut.

Demikian terungkap dalam diskusi panel tentang "Tuntutan Penyelesaian Tuntas Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan dan Pertanggungjawaban Ke-manusiaan", Senin (29/6), di Erasmus Huis, Jakarta. Dalam diskusi yang diselenggarakan Mitra Perempuan hadir sebagai pembicara Purnianti (UI), Nursyahbani Katjasungkana (LBH APIK), Kuraesin Sumhadi (Kowani), Frans Hendra Winarta (pengacara), Saparinah Sadli (Komnas HAM), Harkristuti Harkrisnowo (UI), dan Abdul Hakim Garuda Nusantara (Elsam).

"Ini 'kan dilakukan pemerintah yang lalu, mengapa peme-rintah sekarang menganggap itu biasa-biasa saja? Mengapa sih pemerintah tetap menganggap mana sih buktinya. Saya tidak mengerti caranya pemerintah berpikir. Apalagi kalau sekarang Habibie menyatakan sekarang saatnya untuk meningkatkan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia. Buktikan itu sekarang juga dengan mengatakan kutukan ini," tegas Saparinah Sadli.

Masalah perkosaan, kata Saparinah, bukan masalah yang bisa disajikan secara gamblang seperti berbagai permasalahan lainnya. Oleh karena itu, selama pemerintah tetap menganggap fenomena kekerasan seksual dan pemerkosaan itu hanya bisa diterima kalau ada pembuktian yang jelas, maka itu adalah pendekatan yang keliru. Hal yang diperlukan dari pemerintah sebetulnya bukan sikap legalistik semacam itu, tetapi perhatian dari pemerintah terhadap para korban.

Tidak memadai
Sedang Nursyahbani mengatakan, dari segi hukum, aspek peraturan dalam KUHP tidak memadai untuk merespons dan menanggulangi kekerasan terhadap perempuan. Dalam KUHP, kekerasan dikaitkan dengan perilaku kekerasan kesusilaan. Implikasi praktisnya, kejahatan terhadap perempuan ditempatkan pada kejahatan seksual bukan dilihat kejahatan terhadap individu dan dalam konteks penegakan hak asasi manusia. Selain itu, dalam KUHP ada keterbatasan prosedural pengusutan karena dibu-tuhkan dua saksi dan bukti-bukti untuk mengusut kasus pemerkosaan.

Dalam kaitan itu, lanjut Nursyahbani, data mengenai korban pemerkosaan akan segera disampaikan kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB (UN Commision on Human Rights), khususnya kepada reporter khusus mengenai kekerasan terhadap perempuan (Special Rapporteur on Violence Against Women) dan reporter khusus mengenai diskriminasi rasial (Special Rapporteur on Racial Discrimination).

Sedang Abdul Hakim mengatakan, kalau pemerintah meragukan data dari kelompok masyarakat, pemerintah seharusnya membentuk tim independen yang melibatkan berbagai unsur kemasyara-katan. Pemerintah juga perlu menjamin keamanan anggota tim tersebut.

Sementara Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) Polda Metro Jaya Letkol (Pol) Edward Aritonang yang juga hadir pada diskusi tersebut, mengharapkan, perlu dibuat suatu mekanisme sehingga tuntutan agar kasus ini dituntaskan dari aspek hukum bisa diwujudkan.

"Mungkin kita bisa kerja sama karena prinsip penyidikan yang kami jalankan sebagaimana dijelaskan Kapolda adalah kita tidak ingin menambah penderitaan korban. Kami akan membuat suatu upaya penyidikan sedemikian rupa. Bisa saja kami yang mendatangi, atau ada pihak ketiga yang menjadi semacam fasilitator sehingga kita bisa bersama-sama mencari penyelesaian yang tuntas," katanya.(bb/oki)


BACK