Saya Kapok Jadi Wanita. Surat Terbuka untuk Menteri UPW.
Oleh Melani Budianta, Dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia. OPINI & MEDIA ANDA.
Rabu, 1 Juli 1998.
SIKAP diam Ibu Menteri UPW di saat media massa dan
tokoh-tokoh masyarakat ramai membicarakan masalah
perkosaan dan pelecehan terhadap anak gadis dan
perempuan, sungguh membangkitkan tanda tanya. Kasus
yang terjadi pada peristiwa penjarahan tanggal 14 dan
15 Mei yang lalu sesungguhnya sangat menggugat nurani
setiap orang yang peduli terhadap perempuan, dan saya
yakin Ibu termasuk di antaranya.
Dalam tulisan ini saya mencoba mereka-reka
sebab-sebab kebisuan Ibu dan mohon segera dikoreksi
apabila keliru. Sebab saya khawatir hal ini sangat
erat kaitannya dengan persoalan mendasar yang
dihadapi kaum perempuan di negeri ini.
Dugaan pertama, Ibu Menteri bersikap diam karena
merasa belum yakin dan hampir tidak percaya bahwa
peristiwa semacam itu bisa terjadi di negeri yang
berasaskan pada Pancasila. Ibu tidak punya
bukti-bukti dan angka-angka yang pasti. Barangkali
Ibu berpikir, bahwa jangan-jangan, ini cuma isu atau
gosip yang 'dibesar-besarkan' untuk kepentingan
politik tertentu. Dan Ibu tidak mau mengambil risiko.
Inilah sebuah kenyataan yang harus dihadapi kaum
perempuan, hukum secara umum tidak berpihak padanya.
Kekerasan terhadap kaum perempuan seringkali terjadi
dalam wilayah tertutup yang tanpa saksi. Seringkali
pula dilakukan oleh orang-orang yang diberi legalitas
untuk melindungi atau mempunyai kekuasaan atas diri
sang korban atau dalam wilayah publik yang penuh
saksi manakala pelakunya tidak mungkin untuk dilacak
kembali. Padahal saksi dan pembuktian adalah dua kata
kunci dalam prosedur hukum.
Selain itu korban-korban pelecehan seksual dan
perkosaan merasa sangat malu, kehilangan harga diri
dan semangat juang. Mereka umumnya memilih untuk
diam, bersembunyi atau mati. Kalaupun ada yang berani
bicara, adalah mereka berani mengambil risiko berat
dipermalukan untuk kedua kalinya di hadapan penyidik,
pengadilan atau media massa.
Suatu yang tragis, bahwa dalam berbagai kasus tindak
kekerasan terhadap perempuan, misalnya dalam kasus
kekerasan dalam rumah tangga, calon korban seringkali
sudah berusaha untuk minta tolong. Tapi atas dalih
bukti yang tidak cukup, suara mereka dipantulkan
kembali oleh tembok-tembok yang dingin.
Dugaan kedua, Ibu Menteri bersikap diam karena kasus
ini menyangkut satu kelompok minoritas yang
barangkali boleh diragukan kedudukannya sebagai
''orang Indonesia yang sejati'' dalam arti yang
primordial atau berdasarkan takaran patriotismenya.
Tanpa berargumen tentang yang asli dan yang
patriotis, satu hal sudah cukup jelas bahwa
masyarakat kita belum paham arti negara hukum dan
demokrasi. Ini terjadi karena pendidikan politik yang
telanjur salah kaprah. Sudah berpuluh-puluh tahun
lamanya rakyat menyaksikan bagaimana hukum dipakai
sebagai alat kekuasaan dan menonton bagaimana suara
dan hak bicara diselewengkan.
Akibatnya kita tidak tahu dan tidak bisa paham bahwa
dalam negeri hukum dan tatanan yang demokratis bahkan
musuh bebuyutan yang paling kita benci di muka bumi
pun, harus kita hormati hak-hak sipilnya dan perlu
kita perjuangkan haknya untuk mendapat perlindungan
hukum.
Tapi saya berharap, mudah-mudahan dugaan kedua ini
keliru. Sebab saya sudah menyaksikan sendiri,
bagaimana kelompok perempuan, melalui berbagai
gerakan solidaritas dan koalisi yang menonjol dalam
gerakan reformasi, secara gigih meruntuhkan
batas-batas sektarian dan primordial.
Simbol Pemanis Ketika sedang maraknya pengelompokkan berdasarkan
golongan dalam situasi krisis moneter, kaum perempuan
membuat acara doa bersama antaragama. Dalam
sidang-sidang pengadilan Karlina dan Romo Sandyawan,
suster berkerudung dan perempuan berjilbab saling
bergandengan tangan membagikan bunga dan bernyanyi.
Mereka tidak pandang bulu, termasuk juga terhadap
laki-laki yang ikut mendukung pergerakan mereka.
Dugaan ketiga, Ibu Menteri bersikap diam karena
posisi Menteri UPW dalam wacana resmi negara lebih
merupakan simbol pemanis untuk menutupi kondisi
wanita yang buruk di negeri ini. Pertanyaannya,
mengapa perlu ada departemen khusus urusan peranan
wanita? Paling tidak ada empat kemungkinan jawaban.
Kemungkinan pertama, karena Indonsesia sangat
menghargai, menyanjung dan memuliakan kaum wanita.
Kedua, atau sebaliknya karena kedudukan wanita
sedemikian buruknya, sehingga perlu penanganan yang
khusus.
Ketiga, adalah gabungan keduanya, yakni untuk
menunjukkan bagaimana hebatnya emansipasi wanita
terjadi di negeri ini sehingga seorang wanita bisa
menduduki jabatan menteri. Sehingga bisa memoles dan
menutupi kondisi yang buruk seperti yang terjadi pada
Marsinah dan kawan-kawannya.
Dan kemungkinan keempat, karena peranan wanita
dianggap penting, ''strategis'', dapat dimanfaatkan
sepenuhnya untuk berbagai kepentingan sosial, politik
dan ekonomi, termasuk menambah devisa negara menjadi
sumber tenaga gratis dan penunjang karier pejabat
negara seperti organisasi Dharma Wanita.
Barangkali masih ada kepentingan lain yang terdaftar
dalam arsip Ibu, yang luput saya amati. Tapi kalau
dugaan saya benar, saya menuntut agar Ibu, sebagai
menteri dalam kabinet yang bertekad untuk mengadakan
reformasi agar segera membubarkan Dharma Wanita dan
menghapus lembaga yang Ibu pimpin berikut segala
jajarannya karena kehadiran dua institusi ini justru
menjadi penghalang terwujudnya cita-cita emansipasi
kaum perempuan.
Tidak ada yang bisa menolak diciptakan sebagai
perempuan, sebagai manusia dengan golongan darah,
warna kulit, raut wajah tertentu. Atau dilahirkan
dalam golongan etnis, tempat dan zaman tertentu.
Kalau memang seperti ditelusuri oleh para sejarawan,
posisi kelompok Cina sudah mengandung luka sejarah,
luka itu harus kita sembuhkan bersama. Jangan biarkan
kaum perempuan, anak gadis berusia 12 tahun yang
tidak berdosa menanggungnya.***(Q-1) |