PARTAI POLITIK & SARA.
Oleh M Dawam Rahardjo, Rektor Unisma Bekasi. OPINI & MEDIA ANDA.
Rabu, 1 Juli 1998.
MEMASUKI era reformasi, prakarsa dan gagasan membentuk partai baru
atau menghidupkan kembali partai lama yang telah dibubarkan atau melebur
diri (fusi) bermunculan seperti jamur di musim hujan.
Sungguhpun begitu, beberapa hal bisa dijelaskan, misalnya pendirian partai
berdasarkan ideologi gender. Pendirian Partai Perempuan Indonesia yang dipelopori
oleh pengarang dan cendekiawan perempuan terkemuka seperti Titi Said, La Rose,
dan Prof Dr Toeti Heraty dilatarbelakangi oleh gerakan perempuan untuk membebaskan
diri dari patriarki, yakni tata sosial, politik, ekonomi dan budaya yang didominasi
oleh kaum lelaki. Gerakan gender ini, secara formal dapat dikategorikan ke dalam SARA,
tetapi sebenarnya tidak berbahaya, karena bukan merupakan masalah yang sensitif.
Mengingat jumlah kaum perempuan yang lebih besar dari laki-laki, kemungkinan partai
ini bisa memperoleh banyak suara, namun masih disangsikan apakah kesadaran gender ini
cukup merata dalam masyarakat kita.
Gerakan gender ini sejenis dengan gerakan konsumen atau lingkungan hidup. Di negara-negara
industri maju telah ada Green Party yang memperjuangkan ideologi lingkungan hidup dan
mendapat cukup suara untuk mendudukkan wakil-wakilnya di parlemen. Tetapi belum
diketahui apakah ada contoh partai gender seperti di Indonesia. Masih dipertanyakan,
apakah masalah gender ini perlu diperjuangkan pada tingkat partai, ataukah
cukup di tingkat civil society, seperti yang telah ada sekarang ini, walaupun
perlu ditingkatkan.
PARTAI AGAMA.
Mungkin dan malahan tentu saja, partai-partai tersebut akan memperjuangkan
berlakunya hukum dan etika Islam di segala bidang kehidupan, termasuk politik dan
kenegaraan, tetapi mereka hendak memperjuangkannya secara demokratis. Tentu saja
mereka akan berusaha membuktikan bahwa hukum dan etika Islam itu bermanfaat bagi
semua manusia. Lagipula dewasa ini telah banyak terbit buku-buku tentang teori dan
ajaran firih siyasah yang membicarakan ide negara Islam.
Sebenarnya, partai agama di negara-negara industri maju yang sekuler tidak lagi
merupakan persoalan.
Di Asia Tenggara, partai berdasarkan suku, ras, maupun agama terdapat di Malaysia.
Dengan adanya partai-partai itu, golongan minoritas maupun mayoritas dapat menyatakan
kehadiran dirinya secara legal dan formal. Mereka juga bisa memperjuangkan kepentingan
mereka, sekalipun dan bahkan justru kepentingan ''sempit'' atau khusus mereka sebagai
kelompok tertentu atau golongan minoritas. Justru munculnya partai golongan minoritas
dikehendaki sebagai ciri demokrasi agar kepentingan golongan marginal diakui dan diberi
kesempatan untuk bisa diperjuangkan. Sebaliknya partai golongan mayoritas juga diperbolehkan,
justru agar kepentingan golongan yang berpotensi kuat itu, walaupun sering justru lemah itu,
dapat diperjuangkan secara terbuka dan demokratis. Adanya partai berdasarkan suku dan ras
menunjukkan bahwa Malaysia justru ingin memperlihatkan jati dirinya sebagai masyarakat yang
multietnis, multirasial, dan multibudaya atau masyarakat pluralis, di mana berbagai kelompok
masyarakat itu dapat hidup secara damai dan suatu masyarakat yang demokratis.
Itulah agaknya, motif di balik pendirian Partai Reformasi Tionghoa sekarang ini di
Indonesia, yang mungkin bertujuan melakukan pembauran atau justru ingin mempertahankan
identitas dan eksistensinya sebagai kelompok minoritas yang menuntut perlindungan
dan perlakuan yang berkeadilan. Tentu saja partai tersebut akan berusaha memperjuangkan
persamaan hak sebagai warga negara dan menolak serta melindungi diri dari perlakuan
diskriminasi.
Di masa Demokrasi Terpimpin, partai atau organisasi politik eksklusif Cina, misalnya
BAPERKI yang berhaluan kiri justru diperbolehkan dan diberi tempat di dalam pemerintahan,
bahkan bisa memperoleh yang strategis, seperti menjadi jabatan menteri keuangan.
Karena itu, kebijaksanaan memelihara identitas mempunyai nilai tersendiri yang mengatasi
risiko timbulnya bentrok. Malahan, dalam komunikasi dan informasi, perbedaan itu justru
membuka peluang untuk melakukan kerja sama. Tapi yang penting adalah berkembangnya pandangan
bahwa keanekaragaman itu lebih baik daripada monolitis dan demokrasi itu justru diperlukan
dan mempunyai makna untuk masyarakat yang pluralistis.
NEGARA ISLAM.
Di Indonesia, memang masih sangat dikhawatirkan oleh golongan non-muslim, terutama Kristen
dan Katolik, bahwa bangkitnya partai agama bisa menjadi kendaraan bagi berkembangnya pandangan
fundamentalisme Islam yang mencita-citakan berdirinya Negara Islam.
Bagi kalangan muslim sendiri, dikhawatirkan pula timbulnya polarisasi antara Islam dan
non-Islam atau golongan Islam dan Pancasilais, seperti terjadi dalam sidang Konstituante
1959. Polarisasi itu akan merugikan dakwah Islam, karena jika pendapatan suara partai Islam
kurang dari 30% umpamanya, padahal klaimnya 87%, maka akan tercipta citra bahwa kaum muslim
''yang sesungguhnya'' itu hanya sekitar 30%. Predikat Islam juga membawa beban bagi partai
Islam dan tokoh-tokohnya. Jika kinerja tokoh Islam tidak begitu bagus, maka hal itu akan
membawa dampak negatif, bukan hanya kepada pemimpinnya atau partainya saja, tetapi juga pada
Islamnya. Dalam kenyataannya, tidak semua muslim itu memilih partai Islam. Sementara itu
banyak yang percaya bahwa perjuangan Islam bisa lebih efektif lewat partai terbuka, seperti
terjadi pada masa lalu, dan bukan melalui PPP yang pada masa lalu lemah.
Konsekuensi dari gagasan tersebut adalah larangan bagi partai politik untuk membentuk
organisasi afiliasi atau underbow, yang menjamur di masa Demokrasi Terpimpin. Jika struktur
organisasi vertikal semacam itu diperbolehkan, maka masyarakat di tingkat bawah akan
terpecah-pecah. Kaum buruh atau kaum tani yang mempunyai kepentingan yang sama, mengapa harus
berjuang secara terpisah, hanya karena perbedaan agama ?.
Dengan demikian, organisasi seperti NU, Muhammadiyah, Taman Siswa, Kosgoro, MKGR atau SOKSI,
harus bersifat independen. Jika NU berafiliasi dengan Partai Bintang Sembilan umpamanya,
maka saluran perjuangan anggotanya yang sebenarnya juga beragam aspirasinya itu juga menjadi
terbatas. Lagi pula dalam era reformasi ini hak-hak individu harus lebih dihargai. Sebagai
anggota NU, Muhammadiyah atau MKGR, setiap mereka seharusnya memiliki kebebasan untuk memilih
partai apa pun. Atas dasar ini, maka partai Bintang Sembilan umpamanya tidak diperlukan,
bahkan juga akan tidak lagi mampu menghimpun pendukung. |