Edited & Sent by Ratu Keadilan

D&R: DI TENGAH KEBISUAN TEMBOK-TEMBOK YANG HANGUS.....

Beberapa hari kemudian terungkapkan bahwa kerusuhan pertengahan Mei bukan sekedar penjarahan dan pembakaran. Pelecehan terhadap wanita dan pemerkosaan begitu menikam nurani bangsa .

Jakarta, 14 Mei, Sekitar pukul 23.00. Semobil wartawan memberanikan diri menembus kegelapan di Jalan Gajah Mada, menuju ke Glodog. Inilah wilayah Jakarta Barat yang oleh mereka yang sinis suka dibilang " di sini, pribumi seperti merasa di negeri asing ". Maksudnya,kawasan pertokoan dan kantor usaha itu didominasi mereka yang bermata sipit dan berkulit kuning. Apalagi di Glodognya, sebuah kawasan dengan kompleknya pertokoan elektronik, hotel, sekaligus ratusan rumah toko (ruko). Sebagian pedagang itu memang tak pulang setelah membuka toko karena rumahnya ada di lantai atas tokonya.

Ketika itu, kawasan yang biasanya baru sunyi di atas pukul 24.00 tersebut senyap, bau barang-barang terbakar, dan disana-sini tampak tentara berjaga-jaga, dua tiga panser atau tank pun parkir. Beberapa bangunan masih menyala, yang lain tinggal bara. Kerusuhan siangnya sampai menjelang tengah malam membuat Glodog bagaikan wilayah yang menjadi sasaran satu skwadron pesawat pengebom dalam Perang Dunia II. Tak persis agaknya karena Glodog ini tembok-tembok bangunan masih berdiri, hanya atapnya yang ambruk karena penyangganya tak kuat lagi setelah dimakan api.

Ketika itu hanya sunyi, ditingkah suara "peletak-peletak" sesuatu yang retak atau pecah karena panas. Ketikaitu orang belum berpikir, dikesunyian itulah tragedi tersimpan, isak tangis teremdam. Tembok-tembok itu memang bisu, sehingga tidak bisa bercerita apa yang terjadi sesiang sampai menjelang tengah malam ruko-ruko atau di apartement-apartement di wilayah ini.

Balik pulang ke selatan, serombongan wartawan itu tak berpikir aneh-aneh selain inilah kebrutalan massa yang marah : menjarah dan membakar. Pasti ,pikir mereka, banyak orang yang terpanggang dan mati hangus di tengah-tengah bangunan-bangunan yang menghitam itu. Tapi pemerkosaan ? Samar samar ada dugaan itu, cuma cepat-cepat tersamar ada dugaan itu, cuma cepat-cepat tersingkir dengan sendirinya karena yang didepan mata adalah sebuah " Bumi Hangus ".

Sampai Jumat dua pekan lalu, sekitar dua minggu setelah kerusuhan itu , di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia , jauh dari lokasi kerusuhan , Romo Sandyawan Sumardi beserta kelompoknya membeberkan temuan mereka: orang-orang yang tak bisa bicara karena menjadi korban kebiadaban. Seorang bapak, kata Romo Sandi, hanya minta kertas lalu menulis bila ditanya apa yang terjadi pada dirinya. Lama kemudian baru diketahui bahwa anak dan istrinya tewas, setelah mengalami pelecehan dan pemerkosaan oleh beberapa orang ( lihat " Ini Pembantaian Massal " ) .

Lalu bisik-bisik itupun mencuat ke permukaan, pers pun menuliskannya. Telah terjadi ratusan, diduga lebih, kasus pelecehan dan pemerkosaan brutal, tak jarang diakhiri dengan pembunuhan atau bunuh diri, yang korbannya hampir semuanya adalah orang-orang berdarah Cina. Stasiun televisi internasional, juga radio internasional, menyiarkan kasus ini dengan sesak. Ini bukan tragedi pertma di Indonesia atau di Jakarta khususnya. Ada peristiwa Tanjung Priok di tahun 1984. Ada peristiwa 27 Juli di tahun 1996.Cuma,bila yang menjadi korban adalah masyarakat sipil, tidak dalam konteks konflik politik,dan dalam jumlah yang besar,ya,baru kali inilah.Dan karena itu,seperti dibilang banyak orang ,ini sebuah peristiwa yang memalukan bangsa.

Salah satu awal terungkapnya semua ini bermula dari Romo Sandyawan, tiga hari setelah puncak kerusuhan.Aktivis lembaga swadaya masyarakat untuk perikemanusiaanitu menerima laporan lewat telepon. Katanya, penghuni tempat pemondokan putri di sebuah kawasan di Tanggerang,Jawa Barat, yang terjebak oleh kobaran api disuruh ke luar oleh massa. Begitu mereka berada di luar, massa serentak menelanjangi mereka dengan paksa, sudah tentu, dan ada juga yang mencoba mencegah tapi sia-sia. Hanya karena keberanian dan kebaikan seorang pemilik warung di dekat tempat kejadian,wanita-wanita penghuni pemondokan itu mendapat perlindungan di dalam warung dan belum sampai diperkosa.

Laporan pertama itulah yang kemudian membuat para aktivis sosial yang tergabung dalam tim relawan merasa, jangan-jangan hal serupa terjadi di tanggal-tanggal pertengan Mei. Mereka akhirnya "menjemput bola", dengan sabar dan tekun, mulai mencari apa yang terjadi pada para penghuni toko dan apartemen-apartemen ketika penjarahan dan pembakaran terjadi. Dan, informasi yang diperoleh sungguh membuat bulu kuduk berdiri.

Benar, sebagian besar mungkin, laporan ditulis berdasarkan penuturan anggota keluarga,teman, tetangga, pokoknya, orang lain yang kebetulan mengetahuinya karena korban sendiri memilih diam menyimpan penderitaan dan, bila bisa, melupakannya dengan segera. Jarang , laporan datang dari korban, kecuali mungkin yang ditulis dan dikirim ke internet.Itupun,sebenarnya, bisa saja yang menuliskan orang lain.

Wartawan D&R yang mencoba menemui keluarga korban pun tak mendapatkan secuil kisah secara langsung. Sangat bisa dipahami; dan inilah tampaknya yang membuat tragedi ini tersimpan smpai sekitar dua minggu , itupun karena para relawan sosial mencoba menembus kebisuan tersebut demi fakta yang perlu diungkapkan. Bila kemudian wartawan D&R membuat laporan seperti berikut ini, itu berdasarkan cerita dari anggota keluarga korban, kisah yang dituturkan kembali oleh anggota tim relawan, atau tetangga dan teman dekat korban.

Dan Hidup pun Tak Lagi Berarti

Luka dalam masih dirasakan oleh satu keluarga yang tinggal di bilangan Jalan Daan Mogot,Jakarta Barat. Tak cuma harta benda yang dijarah oleh massa yang dengan beringas masuk ke rumahnya. Tapi, tiga putrinya yang masih remaja diseret naik ke bak truk yang diparkir tidak jauh dari rumahnya.Dan, tiga gadis belia tadi diperkosa secara bergiliran di atas truk semalaman. Kedua orang tuanya tak mampu berbuat apapun. Menurut para tetangga, keluarga ini kemudian mengungsi ke Australia.

Seorang mahasiswi sebuah universitas swasta di Jakarta Barat, sebut saja Mei,pulang kuliah di hari kerusuhan itu. Ia tak bisa menghindar dari hadangan massa di Jalan Dokter Soesilo,Grogol. Dengan brutalnya, pakaian yang dikenakannya dirobek oleh massa tanpa perduli. Meski tak sampai diperkosa, seluruh tubuhnya digerayangi dan diremas-remas. Untungnya, meski dengan pakaian yang telah tercabik-cabik, Mei berhasil menyelamatkan diri. Sampai kini, Mei masih harus terbaring di rumah sakit swasta akibat luka fisik dan luka jiwa yang dialaminya.

Masih di bilangan Jakarta Barat, seorang ibu setengah baya yang kebetulan membawa mobil disetop oleh serombongan massa. Tampa "ba-bi-bu" lagi, pakaiannya dilucuti hingga telanjang bulat. Gilanya, orang-orang itu justru tertawa riuh dan meneriakinya, "Wah,udah peot, udah peot!" Ibu yang telah berumur tadi akhirnya dihalau pergi tampa sehelai benang pun di tubuhnya. Dengan selembar koran, si ibu tadi berusaha menyelamatkan diri sambil menahan malu.

Di kawasan Jembatan lima. Jakarta Barata, seorang bapak satu anak menjadi hampir gila. Pasalnya, darah daging satu-satunya yang masih berusia 14 tahun terpaksa "diperkosa" olehnya sendiri. Awalnya, rumahnya diserbu oleh massa untuk menjarah. Ternyata, anak gadisnya pun jadi sasaran pelecehan. Sang istri dengan mengiba minta kepada para penjarah agar dirimya sajalah yang diperkosa, jangan anak gadisnya yang masih dibawah umur. Kejinya, para penjarah tersebut bukan tersentuh, malah justru menyuruh sang ayah memerkosa anak gadisnya sendiri. Entah bagaiman prosesnya, sang ayah pun melakukannya di depan para penjarah tadi. Akibatnya, sang anak syok berat dan sehari kemudian langsung dibawa ke Singapura. Beberapa hari kemudian , sang ayah pun menyusul ke Singapura untuk berobat, setelah sebelumnya dia terus menerus melakukan pengakuan dosa di gereja .

Ternyata penjarahan masih terjadi tiga hari setelah 14 Mei. Sebut saja Wijaya, warga Muaraangke, bapak dari sebuah keluarga muda, terus menjagai istrinya yang dirawat di rumah sakit sampai pekan lalu. Sang istri mengalami luka serius di wajahnya . Ceritanya, tanggal 17 Mei siang, rumahnya didatangi beberapa orang laki-laki tak dikenal. Mereka menjarah semua semua harta yang ada dirumahnya. Sialnya, karena menjerit minta tolong, wajahnya dilukai dengan senjata celurit. Kejadian itu berlangsung siang hari bolong ketika wijaya sedang di kantor.

Adapun Boen yang tinggal di kawasan Sunter mengaku masih merasa sedih atas nasib tragis yang menimpa kenalannya yang tinggal di kawasan Jakarta Utara juga. Tanggal 14 Mei lalu, istri kenalannya diperkosa dihadapan suami dan anak-anaknya. Tak cuma itu, semua hartanya dijarah dan rumahnya dibakar habis-habisan. Akibat tak kuat menahan aib, keesokan harinya sang istri langsung bunuh diri. " Jadi, tolong , jangan paksa orang itu untuk becerita. Yang pasti , sekarang , dia sudah pergi, tidak tinggal di rumahnya lagi," ujar Boen ketika dihubungi D&R , Jumat malam.

Memang, menurut Boen, sebelumnya, kenalannya itu mau memaparkan kisah tragisnya. Tapi setelah empat hari dia mengurung diri, dia berubah pikiran dan pamitan akan mengungsi untuk menenangkan pikirannya. " Dia cuma bilang, saya ingin pergi dari sini untuk melupakan semua yang terjadi. Saya enggak mau mengingat itu lagi, maaf sekali kalau saya sekarang tak mau cerita. Saya tak sanggup, " kata Boen menirukan pesan kenalannya itu. "

Seorang saksi mata bercerita kepad Ita Nadia, anggota tim relawan yang diwawancarai Radio Nederland. Katanya, ia melihat segerombolan massa yang menyetop sebuah bus kota. Lalu, mereka memisahkan wanita-wanita Cina, yang kemudian diperintahkan membuka pakaian lalu disuruh turun, digiring ke lahan kosong di pinggir jalan. Di lahan itu mereka dipilih-pilih lagi, ada yang cuma disuruh jalan-jalan, ada yang diperkosa ramai-ramai.

Ini cerita lain dari Ita. Sebuah bank di kawasan Jakarta Utara dimasuki 10 perusuh. Karyawan Cinanya disuruh menari-nari telanjang. Masih di kawasan ini, tiga anak gadis keluarga miskin, berusia 10 dan belasan tahun diperkosa oleh tujuh orang.

Kisah Vivian

Berikut ini kisah Vivian (tentu nama samaran) yang disampaikan ke home page INDO-CHAOS. Sekitar pukul 09.15, apartemen tempat tinggal Vivian, 18 tahun, anak sulung tiga bersaudara, sudah dikepung massa. Mereka ratusan orang, berteriak-teriak : " Bantai Cina! Ayo,pesta! ". Vivian yang tinggal di lantai tujuh mendapat telepon dari lantai tiga bahwa massa sudah sampai di lantai dua.Lalu, Vivian, ayah dan ibunya, kemudian adik laki-laki dan perempuannya naik kelantai 15, ke bawah sudah tak mungkin karena dicegat massa. Mereka lalu masuk ke kamar kenalan mereka. Ketika itu massa pun sudah sampai ke lantai 15. Mereka mengunci pintu. Tak lama kemudian terdengar pintu-pintu digedor-gedor. Lalu, mereka berpencar di kamar itu, sembunyi di sudut-sudut. Vivian mengaku, dari kamar itu ia mendengar sayup-sayup anak-anak gadis berteriak-teriak minta tolong: " Mami… Mami… sakit… " Ia tak tahu apa sebenarnya yang terjadi.

Sekitar setengah jam kemudian tak terdengar lagi teriakan. Mereka memberanikan diri keluar dari kamar. Sengguh, sebuah pemandangan yang belum pernah mereka saksikan terhampar di depan mata. Orang-orang bergeletakan di gang-gang apartemen, di antaranya wanita dan anak-anak gadis. Veny, adik Vivian, berteriak histeris dan langsung memeluk papanya. Vivian menangis.

Mereka, bersama kenalan yang pengantin baru, menuruni tangga. Di lantai 10 terdengar teriakan minta tolong. Mereka mencoba mencari arah teriakan. Di salah satu belokan terlihat puluhan orang bergerombol. Vivian menuturkan, " Saya melihat sendiri seorang gadis 20-an tahun dikerubuti empat orang. Ia melawan terus, tapi keempatnya memeganginya erat-erat. Mereka memerkosanya.

Vivian dan keluarganya lalu lari secepatnya, menghindar dari tempat itu. Tapi, sejumlah orang menangkap Veny. Mereka berusaha merebut Veny, tapi tak berdaya. Menurut Vivian, ada puluhan orang yang harus mereka hadapi. Mereka semuanya tampa kecuali lalu diikat dengan sprei yang disobek-sobek. Mereka membawa Vivian dan keluarganya ke sebuah kamar. Salah seorang di antara mereka menarik Veny dan menidurkannya di sofa. Vivian langsung menjerit dan langsung ia kena tamparan keras di pipinya. Ayah Vivian yang juga berteriak-teriak dipukul dengan kayu sampai pingsan. Mama Vivian langsung pingsan ketika Veny direnggutkan orang itu.

Vivian meratap dan menutup mata rapat-rapat ketika mendengar jeritanVeny. Kata Veny, ketika itu ada sembilan lelaki beringas dikamar itu. Vivian tak tahan; ia pingsan. Vivian terbangun. Didapatinya tubuhnya tanpa sehelai benang pun. Ia menangis. Ia merasa berada bersama mama dan adik lelakinya, sementara papanya memeluk mereka. Ia melihat kenalan papanya tergeletak di lantai dan, diatas tubuhnya, istrinya menangis. Vivian kemudian tak sadarkan diri lagi.

Esoknya, Vivian mendapati dirinya sudah terbaring di rumah sakit. Seluruh tubuhnya sakit. Mama Vivian menangis terus. Empat hari kemudian, Vivian membaik. Ia mendapat cerita dari ayahnya: ketika ia pingsan, tujuh orang memperkosanya. Dan Veny ?

Seminggu kemudian, setelah pulang ke rumah saudaranya, Vivian mendapat cerita bahwa Veny tewas. Ketika diperkosa, anak perempuan itu melawan dan meludahi pemerkosanya. Sipemerkosa marah, menamparnya berkali-kali.Tak cukup, ia menyambar sebilah pisau yang lalu ditikamkannya ke perut Veny. Itu pula yang dialami kawan ayahnya: auaminya ditikam dan istrinya diperkosa.

Apa sebenarnya yang terjadi ? Adakah semacam dendam sejarah, seperti antara etnis Bosnia dan Serbia di Yugoslavia ? Atau sekedar balas dendam akibat kesenjangan sosial sehari-hari yang masuk ke dalam kesadaran dan meledak ke luar ketika ada yang memancingnya ? Memang, ada hubungan tak serasi antara Cina dan pribumi di kawasan Indonesia, tapi itukah alasannya? Kenapa hanya terjadi di kota tertentu ? Atau, etnis Cina hanya menjadi korban percaturan politik yang tak jelas di jajaran atas pemerintahan ?

Tim relawan untuk kemanusiaan mengumpulkan sejumlah data dan membuat kesimpulan. Semua ini pada awalnya bukanlah spontanitas. Ada kelompok yang mengawali dan kemudian massa pun terpancing. Tampaknya di Jakarta, ketika kesenjangan demikian mencolok dan dibalik gedung dan perumahan mewah adalah gubuk-gubuk plastik atau apa saja, kemarahan massa tak susah dimengerti. Tapi , andai tak ada mereka yang merangsang mereka berbuat, tampaknya kejadian tak akan setragis yang terlihat.

Dilakukan Tidak dengan Spontan

Itu dalam soal penjarahan dan pembakaran rumah dan gedung. Bagaimana dengan pemerkosaan? Gelap. Sejauh ini belum ada tanda-tanda yang bisa dijadikan pegangan, siapa kira-kira mereka. Tapi, di beberapa tempat, tim relawan mendapatkan laporan, sepertinya pemerkosaan dilakukan juga tidak dengan spontan. Para pelaku pun bertindak dengan sistematis dalam menista dan menyiksa orang. Mereka bukan sekedar melampiaskan nafsu. Vivian misalnya, menurut bapaknya, tak cuma diperkosa. Tubuhnya dibolak-balik, dibenturkan ke tembok, dan sebagainya.

Tim relawan juga mensinyalir, berdasarkan laporan, di antara kelompok yang memprovokasi ada seorang yang naik sepeda motor atau mobil seperti memerintah-merintah. Adakah ini pemimpin kelompok? Adakah ini kelompok terorganisasi?

Panglima Komando Daerah Militer V/ Jaya Mayor Jendral Syafrie mengatakan, antara kejadian di tempat yang satu dan di tempat yang lain tak ada kaitannya. Jadi, ini semua lebih terjadi secara spontan, oleh massa yang meledak emosinya. Tapi , tim relawan menyimpulkan, para pelaku yang terdiri dari massa biasa (penduduk kampung misalnya) bukan pelaku utama. Setidaknya, mereka bukanlah yang melakukan pertama kali. Malah, bisa dibilang mereka cuma terpancing emosinya, lalu ikut-ikutan . Buktinya, sebagian barang jarahan beberapa hari kemudian dipulangkan.

Menurut Romo Sandyawan, pihaknya secara kebetulan menemukan lelaki yang luka parah di kepalanya dan mengaku dialah salah seorang pelaku penjarahan dan pembakaran. Ia mendapat latihan khusus untuk itu dan di antara delapan anggota kelompoknya tinggal ia yang masih hidup.

Itu mengindikasikan sebuah perencanaan. Tapi untuk membuktikannya sangat tidak gampang. Diperlukan pelacakan serius dan dengan niat memang mau mengungkapkan kejadian yang sebenarnya demi kemanusiaan, sejarah, atau apa pun namanya. Dan dalam hal ini politik, misalnya, dilarang masuk. Sekali saja ada pertimbangan untuk entah apa bahwa kasus ini tak baik dibukakan seterang-terangnya, Kerusuhan tak bakal terungkapkan. Dan,, soal rasial bakal kembali masuk ke bawah permukaan, untuk sewaktu-waktu meledak lagi. Tampak keberanian menyelesaikan dengan cara pengusutan dan pengadilan, bangsa ini akan selalu diancam kerusuhan massal. Peristiwa Tanjung Priok yang seperti diredam tak berarti selesai . Peristiwa 27 Juli yang dilupakan tak lalu menghapus jumlah orang yang hilang. Ada pemerintahan , ada masyarakat. Di negara yang bagaimanapun masih paternalistik ini pemerintahan yang berniat baik tanpa tujuan politis apa pun, dalam kaitan dengan kerusuhan dan berbagai tragedi massa, akan membantu menghilangkan potensi-potensi kerusuhan massal. Apalagi bila kita berniat menegakkan masyarakat madani, tak ada jalan lain selain mengungkapkan ini semua dan menghukum mereka yang terbukti bersalah.

Kini, tim relawan masih terus bekerja dan jumlah korban dari hari ke hari terus bertambah. Sudah lebih dari 1.300 orang dinyatakan tewas sampai akhir pekan lalu. Belum jelas berapa jumlah korban pemerkosaan, ini lebih sulit mendatanya. Bila korban demikian nyata dan Presiden Habibie pun sudah memerintahkan agar diusut tuntas sinyalemen adanya kelompok terorganisasi yang memicu kerusuhan tragis ini, rasanya tak ada lagi alasan untuk tak mengungkapkannya sejauh mungkin. Atau, bangsa ini bakal berjalan dan menyimpan masa lalu yang hitam, yang punya potensi berulang ?

D&R, Bambang Bujono/Laporan Puji Sumedi H ( Sesuai aslinya ).


BACK