Kompas: Penjarahan Masih Berlangsung di Solo

Siapa bilang aksi kerusuhan yang melanda kota Solo hanya terjadi 14-15 Mei 1998? Iswahyudya, salah seorang pengurus Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) memaparkan sejumlah kasus yang menimpa para korban kerusuhan di hadapan pengurus DPC PPP Solo, Rabu (17/6).

Seorang korban kerusuhan di Jl Veteran, Solo bermaksud membangun kembali rumah dan

warungnya, seluas 28 m2 yang telah ludes dibakar massa. Dengan susah payah ia berhasil

mengumpulkan uang Rp 4 juta. "Setelah beli pasir, bata, semen dan seng, ia mengundang tukang.

Keesokan harinya, semua bahan material itu telah lenyap diambil orang," tutur Iswahyudya.

Korban kerusuhan lain tengah membangun pagar besi rumahnya, karena pagarnya telah hancur akibat amuk massa. Tiba-tiba datang seseorang membawa gergaji, dengan tenang menggergaji pagar besi, lalu mengangkut pagar itu dengan becak. Esok harinya orang yang sama datang lagi, kemudian menggergaji pagar sisanya.

Kecuali itu, teror pun dilancarkan. Sejumlah orang mendatangi para korban kerusuhan dan

mengancam, kalau berani membangun rumahnya lagi, rumahnya akan dibakar, dan anaknya akan diperkosa. "Karena menghadapi teror dan ancaman seperti itu, sementara tidak mungkin lagi minta jaminan keamanan dari pihak aparat, mereka akhirnya memutuskan tidak membangun rumahnya, dan memilih pergi dari kota ini," tutur Iswahyudya lagi.

Seorang wanita setengah baya hari Minggu (14/6) terlihat tengah mengais-ngais puing-puing rumah dan tempat usahanya yang gosong. Usaha yang dia rintis selama 40 tahun, ludes. Kedua tangannya berlepotan abu. Ia menumpahkan seluruh isi hatinya yang remuk. Katanya, hari-hari ini keluarganya masih menghadapi bermacam pemerasan dan penjarahan yang dilakukan warga secara semena-mena. "Melapor kepada aparat? Buat apa?" Ny Chandra menjepi. Ia sakit hati karena laporannya tidak ditanggapi sama sekali.

Menerima pemaparan itu, Ketua DPC PPP Solo, Mudrick Setiawan M Sangidoe spontan menegaskan, pihaknya akan segera mengambil langkah-langkah penyadaran untuk meningkatkan kepedulian pengamanan bagi seluruh anggota masyarakat. "Saya akan berkoordinasi dengan aparat keamanan di sini. Bila perlu, saya akan menggerakkan masyarakat untuk melakukan jihad, atau Gerakan Perlawanan Rakyat!" tegasnya.

Rekayasa

Mudrick menandaskan, ABRI wajib memberi jaminan keamanan lahir dan batin kepada seluruh warga masyarakat. Ia khawatir, bila anarki di masyarakat itu tidak ditanggulangi secara dini, maka teror suatu saat akan mengancam warga 'pribumi' pula. Menurut dia, "Pangab harus berusaha mengembalikan kepercayaan rakyat kepada ABRI," katanya, "karena kepercayaan rakyat telanjur hilang akibat kerusuhan lalu." Ia yakin, kerusuhan itu ada "skenarionya".

Kurang dari 24 jam amuk massa di Solo telah menghancurkan hasil pembangunan selama 30 tahun, dan menimbulkan kerugian material senilai Rp 600 milyar. Sebagai gambaran, APBD Kodya Surakarta 1997/98 Rp 73 milyar, sedang Pendapatan Asli Daerah Rp 16,4 milyar.

Massa telah merusak dan membakar 250 bangunan seperti pusat perbelanjaan, toko, kantor, bank, ruang pamer, rumah. Mereka juga membakar 400 kendaraan roda empat (mobil pribadi, bus, truk). Ini berarti hampir 10 persen, karena menurut data statistik, jumlah kendaraan jenis itu di Solo 4.284 buah. Sepeda motor yang dibakar massa sekitar 500; atau 1,5 persen dari jumlah total 33.278 buah.

Akibat kerusuhan 40.000 pekerja terpaksa menganggur. Belum lagi korban tewas akibat terpanggang yang mencapai 31 orang. Bila dibandingkan dengan jumlah usia kerja (298.000), maka pengangguran di Solo bertambah dengan 13 persen. Melihat semua angka-angka di atas itu rasanya tidak berlebihan bila Menteri Koperasi dan PKM, Adi Sasono menyatakan, secara relatif kerusuhan di Solo intensitasnya paling tinggi di banding tempat-tempat lain.

Siklus

Sampai hari ini banyak warga keturunan Cina yang belum berani membuka usahanya kembali. Selain merasa trauma, mereka diam-diam percaya pada mitos tentang adanya "siklus" bahwa kerusuhan yang sasarannya warga etnis Cina muncul setiap 15-20 tahun sekali.

Kata sejarawan Drs Soedarmono SU, berdasar data sejarah, huru-hara yang dampaknya selalu menimpa warga Cina telah terjadi sejak akhir abad 19. Diawali gerakan perkecuan yang bermula dari pemberontakan petani di Surakarta. Kelompok Cina, seperti juga terjadi di Batavia, selalu menjadi perantara pihak Belanda dalam kegiatan ekonomi, termasuk mengelola tanah perkebunan di Surakarta.

Ketidakpuasan kalangan petani akibat berubahnya struktur budaya mereka, akhirnya meledak. Mereka melakukan pembakaran terhadap usaha perkebunan antara lain di Boyolali. Sebagai ujung tombak Belanda, para pedagang Cina ini menjadi sasaran amuk petani. Huru-hara dengan sasaran suku Cina berlanjut. Sejak 1900 hingga 1998, tercatat tak kurang dari 11 kali huru-hara sejenis terjadi di Solo.

Dinamika hubungan kaum menengah pribumi yang diwakili kalangan pedagang batik di Laweyan, Solo dengan pedagang Cina, berlangsung sejak awal abad 20.

Dalam buku Takashi Shiraishi (An Age in Motion), HM Samanhudi, seorang juragan batik di Laweyan, sempat bergabung dalam Kong Sing yang dibentuk oleh komunitas Cina. Anggota Kong Sing umumnya Cina miskin yang baru datang, bukan Cina peranakan yang sudah mapan dalam industri batik. Organisasi demikian ini dalam prakteknya bukan sekadar usaha gotong-royong sosial, tapi meluas ke perdagangan. Lebih penting lagi: pengamanan dan perkelahian. Samanhudi yang sebelumnya anggota Boedi Oetomo, memutuskan bergabung dengan Kong Sing, karena khawatir Boedi Oetomo akan mendirikan toko koperasi sendiri di sentra batik Laweyan.

Keberadaan Samanhudi di Kong Sing membawa masalah. Banyak orang Jawa yang masuk ke organisasi itu, dan jumlahnya jauh melampaui anggota suku Cina, padahal pengurusnya tetap didominasi suku Cina. Konflik menjadi semakin tajam dengan perubahan sikap mental warga Cina yang menjadi "sombong" bersamaan dengan Revolusi Sun Yat-sen di daratan Cina (1911). Samanhudi kemudian memisahkan diri dan membentuk Rekso Roemekso, sebuah paguyuban pengamanan sebagai tandingan Kong Sing untuk melindungi bisnis pribumi.

Bentrok antara kelompok Rekso Roemekso dan Kong Sing tak terhindarkan, hingga terjadi huru-hara. Pemerintah Belanda akhirnya datang menengahi seraya mempertanyakan legalitas Rekso Roemekso. Rekso Roemekso akhirnya bergabung dengan Sarekat Dagang Islam (SDI) yang pusatnya di Bogor, dan menjadi cikal bakal Sarekat Islam (SI).

Bukan antiras

Kalangan suku Cina berpandangan, aksi kerusuhan di Solo medio Mei lalu sama sekali tidak bertendensi antiras. Selain menduga bahwa sasaran amuk itu hanya "titik-titik tertentu", terbukti warga Cina sendiri yang notabene pemilik rumah atau tempat usaha, umumnya tidak mengalami perlakuan semena-mena. Juga tidak semua rumah atau tempat usaha suku Cina dirusak/dibakar sekalipun lokasinya bersisian.

"Kalau kerusuhan itu disebabkan gerakan antiras tidak mungkin saya berjalan-jalan di tengah kerumunan massa, tanpa diapa-apakan," tutur Handoko, bos industri tekstil PT Batik Keris. Ia mengandaikan pula, bila kerusuhan itu didasarkan sentimen antiCina, dirinya sudah digebuki saat berada di tengah 11.000 buruhnya yang pribumi.

Ketua PMS, Budi Mulyono berpendapat bahwa kerusuhan di Solo lebih merupakan akumulasi berbagai faktor. Rasa tidak puas yang terpendam di kalangan masyarakat terutama kelas bawah terhadap berbagai masalah, baik politik maupun sosial, lalu dipicu krisis moneter hingga menimbulkan ledakan kerusuhan.

"Kesenjangan ekonomi dan sosial, memang ada. Dan saya tidak menutup mata bahwa ada orang yang tak suka pada etnis Cina," aku Budi. Dalam kenyataan, sulit dihindarkan kesan bahwa warga keturunan menguasai perekonomian rakyat. Secara visual, di sepanjang jalan di kota Solo, pertokoan umumnya dimiliki etnis Cina.

"Rumah mereka ngablah-ablah (terbuka) di tepi jalan, memang didasarkan pertimbangan ekonomis karena biasanya rumah sekaligus untuk tempat usaha. Maka kalau lalu jadi sasaran amuk massa, bisa dimengerti," papar Budi.

Untuk diketahui, di Kotamadya Surakarta (Solo) yang luasnya 44 km2, populasi warga etnis Cina mencapai 24.000 jiwa. Jumlah ini hanya sekitar 4,4 persen dibanding total penduduk yang 540.357 jiwa.

Budi Mulyono mengakui, warga keturunan menguasai sekitar 70 persen lapangan ekonomi. Sementara Ketua Kadinda Surakarta, Ir Suyatno Luhur menyebut angka sekitar 75 persen. Dari jumlah 300 anggota Kadinda Solo, 50 di antaranya pengusaha Cina yang kuat, namun mereka tergabung dalam asosiasi di bawah Kadinda seperti API, Apindo.

Suyatno menunjukkan, 80 persen pemilik pertokoan di Solo terdiri dari warga keturunan. Mereka disebut menguasai perekonomian karena umumnya memegang posisi kunci dalam jalur distribusi bahan-bahan pokok seperti beras, gula, tepung terigu, minyak goreng, minyak tanah, tetapi juga bahan-bahan konstruksi seperti semen, kayu. "Sulit dihindari kesan bahwa mereka tidak 'bermain' pada waktu-waktu tertentu bahan-bahan tersebut mendadak hilang di pasaran, atau tersendat dalam penyalurannya," tutur Suyatno Luhur.

Sentimen

Dengan gambaran ini maka tampak, meski banyak dugaan bahwa kerusuhan 14-15 Mei di Solo bukan murni kerusuhan antiras, namun kerusuhan itu bisa meledak, karena tetap ada sentimen antiras. Masyarakat Cina sendiri bukan tidak menyadari hal ini. Gerakan sosial yang dilakukan PMS, organisasi sosial yang didirikan pada 1959, dan semula bernama Chuan Min Kung Hui (1932), tentunya didasarkan pada pemahaman itu juga.

Itikad dari kalangan warga keturunan untuk melenyapkan batas-batas yang menimbulkan kesenjangan ekonomi disampaikan Handoko. "Bila perlu sistemnya dum-duman (bagi hasil). Sungguh, saya ikhlas," ungkapnya. Ia membuka kemungkinan industri tekstilnya dikelola bersama karyawannya dalam bentuk koperasi, bukan koperasi yang cuma diberi saham sekadarnya.

Usulan lain adalah dibentuknya koperasi simpan-pinjam yang anggotanya terdiri dari kalangan pengusaha pribumi dan keturunan. Gagasan ini disambut baik Menteri Kop PKM Adi Sasono, dalam pertemuan dengan warga Cina di Solo hari Minggu lalu.

Seperti juga Adi Sasono, Mudrick menyarankan warga keturunan melakukan introspeksi. Kalau berusaha, hendaknya tidak menimbulkan masalah sosial maupun lingkungan hidup. "Saya selalu mengingatkan, pagar mangkok lebih penting daripada pagar tembok," katanya. Maksudnya, kepedulian sosial lebih berarti daripada sikap ekslusif, seperti membangun pagar tembok rumah tinggi-tinggi.

Budayawan Sardono W Kusumo merasa risau, ketika menyaksikan banyak bangunan di kota kelahirannya kini berubah menjadi "benteng-benteng". Banyak bangunan yang semula berdinding kaca, kini diganti seluruhnya dengan dinding tembok. "Wah, gerakan ramai-ramai bikin benteng ini seharusnya bisa dicegah. Suatu saat, kota ini akan berubah jadi kota penuh benteng yang dibangun tanpa selera arsitektur, dan tidak memperlihatkan keindahannya..." (asa/xjb)


BACK