Media Indonesia: Tokoh Agama Nilai Kerusuhan Mei Tindakan Biadab

PARA tokoh berbagai agama untuk kedua kalinya mengadakan pertemuan di rumah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ciganjur, Jakarta Selatan, kemarin.

Sang tuan rumah tidak begitu leluasa menerima tamunya. Gus Dur lebih banyak berbaring di kamarnya. Maklum, kesehatannya belum pulih 100%.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu baru keluar menjumpai para koleganya, saat akan menandatangani pernyataan "Pertanggungjawaban Hati Nurani". Setelah membubuhkan tanda tangannya, Gus Dur kembali dipapah masuk ke kamarnya.

Menyusul Gus Dur, para tokoh yang secara bergantian membubuhkan tanda tangan antara lain Uskup Agung Jakarta Kardinal Julius Darmaatmadja, Sekjen Konferensi Waligereja Indonesia Mgr J. Hadiwikarta, Putu Setia (Hindu), Johan Efendi (Islam), dan Djatikusumo (Aliran Kepercayaan).

Pertemuan para tokoh agama yang juga dihadiri Ketua Umum DPP PDI (hasil Munas) Megawati itu -- ia juga ikut tanda tangan -- memang mengeluarkan pernyataan keprihatinan sekaitan dengan peristiwa kerusuhan 13-14 Mei lalu.

Dalam pernyataan "Pertanggungjawaban Hati Nurani" yang dibacakan Pendeta Paul Tahalele, diakui dalam sejarah bangsa Indonesia, kuno maupun modern, telah sering terjadi konflik rasial. "Namun peristiwa yang terjadi pada tanggal 13-14 Mei yang lalu, sekali lagi merupakan konflik yang sangat keji dan biadab," ungkap Tahalele.

Menurut pernyataan itu, dalam peristiwa tersebut, masyarakat keturunan Tionghoa dihadapkan dengan masyarakat yang lain, mereka diadu domba. Di satu pihak -- dengan alasan bahwa mereka Tionghoa -- maka harta benda mereka dijarah, tempat usaha

mereka dirusak, tubuh mereka dianiaya, nyawa mereka dihilangkan. Dan -- seakan-akan ingin lebih memuaskan diri lagi - kaum perempuan dari kalangan mereka dilecehkan, bahkan diperkosa. "Karena rasa malu dan putus asa, beberapa orang dari korban mengakhiri hidupnya sendiri," bunyi pernyataan tersebut.

"Yang lebih mengerikan adalah semua itu dilakukan dengan cara-cara yang terorganisasi dan sistematis," ujar Tahalele. Karenanya para tokoh agama dan masyarakat itu menyerukan kepada pemerintah untuk melakukan tindakan nyata yang dengan jelas menunjukkan menyesali peristiwa biadab tersebut.

Pemerintah bersama tim independen juga diminta mengusut secara transparan mereka yang berada di dalam jaringan yang menyulut dan mengobarkan kebencian hingga meletus peristiwa 13-14 Mei 1998.

Tahalele juga menyerukan para WNI keturunan Cina yang hingga kini masih mengungsi di luar negeri agar pulang ke Tanah Air.

"Pulanglah, mari kita bangun perekonomian Indonesia yang telah hancur," katanya.

Seperti pertemuan tiga pekan lalu di tempat yang sama, silaturahmi siang kemarin juga berlangsung bersahaja. Para tokoh duduk bersila di ruang tamu yang terasa sempit, karena dipadati hadirin dan wartawan.

Seusai menandatangani pernyataan, acara dilanjutkan dengan potong tumpeng "semangat persatuan". Kardinal Julius Darmaatmadja mendapat kesempatan pertama memotong tumpeng. Potongan tumpeng lalu diserahkan kepada Megawati. Setelah itu giliran Megawati memotong tumpeng dan menyerahkannya ke Darmaatmadja.

Pada kesempatan terpisah Pepabri dalam pernyataan sikapnya yang dibacakan Ketua Umum Try Sutrisno mengajak masyarakat untuk menjauhkan diri dari sikap dan perbuatan serta ucapan yang berbau SARA, mementingkan kelompok yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengancam keutuhan wilayah kesatuan Republik Indonesia.

Selain itu, Pepabri juga mengajak warga masyarakat untuk menciptakan stabilitas nasional di segala bidang, memelihara ketenteraman dan ketertiban umum bersama ABRI, menjalin hubungan yang harmonis dan sinergis dengan semua komponen yang ada dalam masyarakat serta segenap jajaran pemerintah.(Gty/Ias/Edi/D-12)


BACK