Kerusuhan 12-15 Mei 1998: Noda Hitam Di Tengah Napas Reformasi
JAKARTA - Kerusuhan di Jakarta dan sekitarnya 12-15 Mei lalu,
menyisakan segudang pertanyaan besar. Yang pasti, kerusuhan itu
menelan banyak korban, baik harta benda maupun jiwa. Tidak tanggung-tanggung,
tercatat lebih dari 1.000 orang yang umumnya hangus di tengah
pertokoan yang dijarah dan dibakar massa.
Kerusuhan terjadi setelah empat mahasiswa Trisakti tewas ditembak
ketika memperjuangkan reformasi, 12 Juni. Aksi mahasiswa itu sendiri
didasarkan pada tuntutan hati nurani rakyat. Berpedoman kepada
gerakan dan reformasi damai. Situasi Jakarta tiba-tiba saja berubah
brutal dan tak terkendali tanggal 12-15 Mei. Secara khusus suasana
mencekam di Jakarta sangat terasa pada tanggal 13 dan 14 Mei.
Penjarahan dan pembakaran terjadi di mana-mana. Hampir seluruh
langit DKI Jakarta penuh dengan kepulan asap hasil pembakaran
toko dan plaza-plaza. Suatu aksi brutal massa yang tentunya tidak
muncul dari tangan gerakan reformis mahasiswa yang selalu berpegang
teguh kepada sikap damai. Tanpa perusakan apalagi pembakaran.
Lalu bagaimana itu bisa terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan
dan nyaris dengan pola serupa? Belum lagi belakangan terungkap,
amuk massa dan tindakan brutal itu juga disertai dengan aksi pemerkosaan
terhadap wanita-wanita keturunan, yang menambah ruwet dan biadabnya
insiden yang memang berhasil menumbangkan pemerintahan lama.
Semua itu jelas menimbulkan berbagai pertanyaan, khususnya mengenai
pola perusakan atau aksi brutal yang tampaknya berlangsung dengan
pola yang sama. Pertanyaan yang semestinya menjadi tanggung jawab
aparat keamanan untuk menjawabnya lewat suatu penyelidikan agar
kasus serupa yang nyata-nyata berdampak merugikan masyarakat luas,
tidak terjadi lagi sekalipun untuk tujuan reformasi atau perubahan.
Singkat kata, kerusuhan yang pasti meninggalkan trauma mendalam
di hati masyarakat itu, bak noda hitam dalam sejarah bangsa. Noda
yang tidak mungkin terhapus di tengah napas reformasi.
Apakah amuk massa itu sekadar luapan kemarahan rakyat pada kesulitan
ekonomi atau ketidakpastian situasi politik yang muncul di mana-mana?
Atau, jangan-jangan ada penyebab lain, yang menyebabkan ribuan
massa pada saat yang sama, di sejumlah tempat berbeda, meluapkan
kemarahannya.
Kemarahan yang berwujud pembakaran, perusakan dan penjarahan.
Kematian dan jerit tangis keluarga korban kerusuhan itu tak mungkin
dapat dilupakan oleh siapa pun juga. Setidak-tidaknya oleh semua
orang yang berpikiran sehat. Bagaimana mungkin, di negara yang
konon bersendikan perikemanusiaan, bisa terjadi tragedi memilukan
semacam itu. Begitu kira-kira pikiran masyarakat yang menyaksikan
korban kerusuhan secara langsung maupun melalui media massa.
Ratusan mayat yang hangus dan tentu saja sulit diidentifikasikan,
bergeletakan di kamar mayat RSCM Jakarta. Di tengah bau yang menyengat,
di antara mayat-mayat korban kerusuhan dan di antara lampu kamera
wartawan dalam dan luar negeri, puluhan anggota masyarakat dengan
penuh harap mencari sisa-sisa ciri anggota keluarganya yang terbujur
kaku.
Sebagian di antara mereka, pasti sambil menahan kepedihan, menyobek
kain yang tersisa di tubuh mayat untuk memperkuat ingatannya pada
anggota keluarga mereka yang mungkin menjadi korban kerusuhan.
Sebagian di antara mereka berhasil menemukan ciri-ciri khusus
keluarganya yang menjadi korban. Sebagian di antara mayat itu
gagal teridentifikasi, sudah rusak.
Terorganisasi
Di tengah hiruk-pikuk pembentukan partai baru dan teriakan reformasi
dari sejumlah tokoh yang sebelumnya tidak dikenal sebagai reformis,
tragedi memilukan itu memasuki babak baru, ketika Komnas HAM menyebutkan,
di balik kerusuhan tersebut terdapat kelompok yang mengorganisasi
kerusuhan. ''Kelompok-kelompok terorganisasi itulah yang dilaporkan
memulai perusakan dan pembakaran,'' kata Asmara Nababan.
Komnas HAM juga mencatat sejumlah keterangan yang menyebutkan,
pada saat kerusuhan aparat keamanan terkesan tidak sungguh-sungguh
mencegah meluasnya kerusuhan. Tindakan penanggulangan aparat baru
terlihat jauh setelah kejadian kerusuhan. Pernyataan yang ditandatangani
Wakil Ketua I dan II serta Sekjen Komnas HAM, Prof Miriam Budiardjo,
Marzuki Darusman dan Baharuddin Lopa dibacakan anggota Komnas,
Asmara Nababan di Jakarta, 2 Juni lalu.
Komnas HAM mencatat, dalam kerusuhan tersebut terdapat 40 pusat
pertokoan, 2.479 ruko dan 1.604 toko yang dijarah dan dibakar.
Selain itu, tercatat 1.119 mobil, 1.026 rumah penduduk dan 383
kantor yang dibakar dan dirusak. Jumlah korban tewas tercatat
1.188 orang, 101 luka-luka dan sejumlah kasus perkosaan yang jumlahnya
tengah diteliti.
Pertanyaannya, benarkah pernyataan lembaga yang hingga kini jauh
lebih dipercaya dari pada DPR itu? Pengaduan dan kesaksian masyarakat
kepada Komnas HAM setelah tanggal 2 Juni, tampaknya semakin memperkuat
pernyataan Komnas.
Komnas HAM bahkan telah menerima pengaduan dari masyarakat Solo
yang menyatakan bahwa terjadi banyak sekali kejanggalan dalam
kasus kerusuhan di kota tersebut. Pengaduan yang dilakukan sejumlah
rohaniwan Solo itu semakin mempertegas pernyataan Komnas tentang
nestapa yang menimpa etnis Cina dalam kerusuhan di Jakarta. Di
Jakarta dan Solo, etnis Cina ternyata menjadi salah satu sasaran
amuk massa.
Belum selesai pengaduan kasus di Solo, yang menurut anggota Komnas
HAM, Albert Hasibuan, akan ditindaklanjuti, muncul pengaduan yang
lebih menyentuh rasa kemanusiaan. Pengaduan tersebut disampaikan
Tim Relawan untuk Kemanusiaan di Jakarta, Selasa 9 Juni. Ikut
pula bersama Tim Relawan, sejumlah anggota masyarakat yang kehilangan
sanak-saudara dan harta bendanya.
Pola Kerusuhan
Tim Relawan secara khusus memberikan dokumentasi yang terdiri
dari dua bagian. Dokumen pertama berjudul, Pola Kerusuhan di Jakarta
dan sekitarnya. Status Penjarahan Dalam Kerusuhan terhimpun di
dalam dokumen kedua.
Dalam dokomen pertama yang disusun berdasarkan kesaksian para
korban dan saksi mata, dipaparkan pola umum awal tindakan perusakan
dan penjarahan. Pada awal kerusuhan, terlihat adanya pengkondisian
massa untuk berkumpul di lokasi yang akan menjadi sasaran perusakan,
penjarahan dan pembakaran.
Tahap tersebut ditandai dengan penyebaran isu tentang adanya aksi
perusakan yang disebarkan lewat telepon, sopir angkutan dan orang-orang
tertentu. Selain itu, terdapat sejumlah orang yang sengaja membakar
kayu, ban-ban bekas untuk menarik perhatian sekaligus mengumpulkan
massa.
Tahap selanjutnya, muncul sekelompok orang yang mengajak sekaligus
memimpin perusakan. Kelompok orang yang bukan berasal dari wilayah
di mana perusakan terjadi, mengajak warga setempat untuk melakukan
perusakan.
Para koordinator kerusuhan tersebut, membakar massa dengan meneriakkan
kata-kata anti-Cina. Di tengah-tengah kerusuhan, sebagian di antara
para koordinator kerusuhan, memeras para pemilik toko atau rumah
di lokasi kerusuhan agar membayar uang Rp 2 hingga 80 juta.
Tim Relawan mengindentifikasikan ciri-ciri koordinator kerusuhan
yaitu sekelompok pemuda berpakaian SLTA dan mahasiswa, kelompok
berpakaian lusuh, serta kelompok pemuda berbadan kekar dan berambut
pendek. Para penggerak itu memberikan komando dari atas motor
atau dari dalam mobil.
Ciri para penggerak dan cara gerak para koordinator tersebut terlihat
nyata dari sebuah tabel yang diserahkan Tim Relawan kepada dua
anggota Komnas HAM, BN Marbun dan Clementino dos Reis Amaral.
Dari tabel tersebut, sebagai contoh, terlihat bagaimana dalam
peristiwa kerusuhan yang ditandai dengan penjarahan dan pembakaran
di Yogya Plaza Klender, Jakarta Timur, pemimpin kerusuhan memimpin
puluhan pemuda berseragam SLTA yang dibawa dengan menggunakan
truk Fuso dari arah Pondokkopi.
Dalam tabel lainnya, tim relawan mengungkapkan bahwa kerusuhan
terjadi di 27 tempat terpisah dalam waktu yang hampir sama. Karena
itu pula Tim Relawan yang didirikan oleh sejumlah rohaniwan dari
berbagai agama dan aktivis LSM, mempertanyakan fakta-fakta tersebut.
''Bagaimana mungkin kerusuhan bisa terjadi dengan cara yang sama
pada saat yang hampir bersamaan pula,'' kata seorang anggota Tim
Relawan.
Sama seperti pernyataan Komnas HAM, Tim Relawan menerima sejumlah
kesaksian yang intinya menyatakan, aparat keamanan terkesan membiarkan
terjadinya kerusuhan. Pemadam kebakaran pun, yang pada saat itu
sangat dinantikan kehadirannya untuk memadamkan api, ternyata
sulit sekali dihubungi.
Akibatnya, ya, seperti disebutkan sebelumnya, korban pun berjatuhan.
Sedikitnya 1.217 korban tewas sia-sia. Belum terhitung yang luka-luka
dan kehilangan harta bendanya.
Pengaduan Tim Relawan kali ini tanpa niat untuk mendramatisasi
persoalan yang sesungguhnya. Sejumlah saksi mata, anggota masyarakat
yang selamat dari amukan massa sambil menahan rasa pedih di hatinya,
mengemukakan pengalamannya masing-masing.
Di tengah hilangnya rasa kemanusiaan itu, ternyata ada secuil
cerita mengharukan mengenai cinta kasih sesama manusia. Susi,
mahasiswi Universitas Atma Jaya Jakarta yang memaparkannya.
Pada saat kerusuhan 13 Mei, ia berada di sekitar Grogol. Di tengah
api dan kemarahan massa serta teriakan anti-Cina, Susi yang kebetulan
berasal dari etnis Cina mencoba menyelamatkan dirinya. Ia menjadi
saksi mata bagaimana segerombolan massa melakukan pembakaran toko
dan mobil-mobil dan pelecehan seksual.
Susi sempat dikepung gelombolan massa, tapi untung ada yang orang
yang melindunginya. ''Saya tidak akan lupakan kasus itu seumur
hidup. Seorang pemilik warung Tegal di daerah Rawabuaya, tiba-tiba
saja menawarkan rumahnya untuk tempat persembunyian,'' katanya.
Pelaku Utama
Dalam dokumen kedua, Tim Relawan menarik kesimpulan, warga setempat
di mana terjadi kerusuhan, bukan pelaku utama kerusuhan. Kesimpulan
itu tidak berarti bahwa warga setempat tidak ikut melakukan penjarahan.
Dari data yang terkumpul hingga 9 Juni, di hampir semua lokasi
kerusuhan, langkah pertama perusakan dilakukan sekelompok orang
yang didatangkan dari tempat yang tidak diketahui. Dan pada umumnya,
orang-orang tersebut
tidak diketahui identitasnya oleh warga setempat.
Lepas dari keterangan itu, Tim Relawan berpendapat, penjarahan
merupakan tindakan pelanggaran hak milik. Fakta bahwa tindakan
dilakukan oleh ribuan orang tidaklah membuat tindakan itu sah
atau dapat dibenarkan oleh hukum.
Namun demikian, tragedi tersebut harus ditempatkan dalam konteks
yang lebih dalam. Di satu sisi, sebagian besar para penjarah berasal
dari kategori ekonomi lemah. Tindakan penjarahan adalah tindakan
pengambilan kesempatan untuk memperoleh apa yang selama ini berada
di luar daya beli mereka.
Tapi inti harapan Tim Relawan bukan tertuju pada tindakan penjarahan
tersebut. Tim Relawan meminta Komnas HAM mendesak pemerintah untuk
mengusut tuntas jaringan pelaku kerusuhan yang terorganisasi itu.
''Data yang diserahkan Tim Relawan tentang adanya kelompok terorganisasi
itu tidak jauh berbeda dengan pernyataan Komnas HAM. Kami pasti
akan menindaklanjuti laporan itu,'' kata Amaral kepada wartawan.
Sebelumnya, anggota Tim Relawan, Dr Karlina Leksono mengingatkan,
jumlah korban tewas dan luka jangan hanya menjadi daftar statistik
pemerintah semata. Korban tewas bukan urusan angka atau tabel
semata.
Kasus-kasus kerusuhan yang menelan banyak korban tewas telah terjadi
berulang-ulang. Dan karena itu, adalah tidak tepat jika muncul
pernyataan dari sejumlah kalangan untuk mencoba melupakan kasus
kerusuhan.
''Kasus-kasus serupa sangat mungkin terulang lagi. Pengusutan
mengenai kelompok terorganisasi mutlak dilakukan,'' katanya.
Senada dengan Karlina, anggota Tim Relawan lainnya, Karyo diakhir
pengaduan mengajak semua Tim Relawan dan korban kerusuhan serta
saksi mata, wartawan dan anggota Komnas HAM untuk berdoa bersama.
Sebuah doa keprihatinan. ''Semoga bangsa ini tidak masuk lagi
dalam lautan kepedihan,'' katanya.
|