Partai akan mati jika tak mempunyai dukungan

Kutipan:

''Mereka (Partai Reformasi Tionghoa) adalah bagian dari demam politik. Ini mungkin suatu eksperimen, sejauh mana masyarakat Cina secara politik acceptable''

MARAKNYA partai-partai baru bisa jadi merupakan ungkapan 'kegembiraan' berhentinya Soeharto dari kursi kepresidenan. Selama 32 tahun kekuasaan Soeharto, secara jujur, harus kita akui sama sekali tak menumbuhsuburkan partisipasi palitik rakyat. Yang terjadi sebaliknya, rakyat dicekam ketakutan untuk menunjukkan pilihan politiknya secara bebas. Maka, wajar saja bila turunnya Soeharto disambut 'pesta' oleh rakyat, termasuk ramai-ramai membuat partai. Bahkan, tak tanggung-tanggung, sebagian kalangan membuat partai yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Tentu saja, ada yang pro dan kontra. Untuk membedah kelahiran partai-partai baru ini, Ade Alawi dan Hendriko L Wiremmer dari

Media mewawancarai pengamat politik Fachry Ali, di kantornya, di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat silam. Berikut petikan wawancara dengan alumnus Monash University ini.

Bagaimana Anda melihat munculnya partai-partai yang berbau SARA?

Kita bisa lihat bahwa yang terjadi saat ini adalah demam politik. Itu jauh lebih tepat karena memang harus kita akui bahwa kita tidak bebas selama 32 tahun. Kini kita demam, dengan melakukan sesuatu yang secara ekstrem dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Akibatnya ekspresi massa dan individual dimunculkan secara spontan maupun sporadis. Salah satu implikasinya kita tak tahu masa depan kita. Ini terjadi karena elite sendiri saling bertarung memperebutkan tempat. Pada saat yang sama tidak ada satu kekuatan pun yang dapat memutuskan. Tak ada individu maupun kelompok kekuatan yang menyatakan A dan

disepakati bersama. Yang terjadi adalah pemencaran kekuatan. Pemencaran itu memliki pandangan sendiri. Gejala ini seperti gejala LSM, banyak tapi tak ada yang mempersatukan mereka.

Implikasinya apa?

Yang terlihat adalah strong society and weak government. Masyarakat kuat ini bukan masyarakat terorganisasi tapi terpencar-pencar. Ini problemnya. Bergerak ke sana-kemari tapi tak terkait satu sama lain. Dalam situasi semacam ini, hanya kekuatan politik yang paling solid yang punya tradisi kepemimpinan dan uang cukuplah yang akan menang dalam pertarungan ini. Apalagi jika pemerintahannya cukup lemah. Sekarang antara Habibie dan Emil Salim, Nurcholish Madjid, Amien Rais itu sederajat. Kelebihan pemimpin kini bukan lagi pada jabatan tapi pada massa yang ada di belakangnya. Inilah yang menyebabkan kita sulitnya memastikan masa depan. Dalam situasi macam inilah partai-partai itu muncul. Tapi buat saya itu tak terlalu merisaukan. Karena buat saya yang namanya partai harus punya dukungan massa. Munculkan saja semua. Namun, karena partai harus punya dukungan massa, maka partai akan mati jika tidak punya dukungan itu.

Ada kekhawatiran partai berbasis sekterian akan menimbulkan efek negatif, disintegrasi misalnya. Bagaimana menurut Anda?

Saya kira tidak. Jika mau diterapkan logika partai sebenarnya. Sejauh mendapat dukungan dia berhak mendirikan partai. Ini sesuai dengan UUD 1945. Persoalannya apakah partai itu mendapat dukungan. Dukungan itu penting untuk menandai adanya partai. Basis massa seperti ini biasanya hanya ada di NU, Muhammadiyah, dan Soekarnois yang bisa menyederhanakan hingga bisa dipahami kalangan bawah. Tanpa itu partai tak akan kuat.

Yang paling penting saat ini adalah sebenarnya masa depan kita suram. Jika para elite bicara untuk kepentingan sendiri, maka di situ kita hadapi kesulitan besar. Asumsi yang berkembang selama munculnya reformasi, harus kita lihat dengan dingin untuk mengatakan kekuatan-kekuatan ekonomi bisa bekerja tanpa memandang sistem politik.

Buktinya?

Krisis yang dihadapi yen Jepang menunjukkan tidak adanya kegiatan politik dan ekonomi. Gerak kegiatan ekonomi tak ada keterkaitan dengan politik. Itu bisa kita lihat pada mata uang di Asia. Jepang yang pemerintahnnya legitimated, juga rontok mata uangnya. Artinya tuntutan mereka bukanlah suatu legitimasi dalam konteks politik.

Kasusnya mungkin berbeda dengan Indonesia, investor ingin melihat kepastian politik, menurut Anda?

Benar. Menurut saya jalan keluarnya adalah kesepakatan elite untuk membiarkan pemerintah Habibie bekerja dengan tenang.

Selagi percekcokan itu masih berlangsung menentukan konstitusional atau tidak, perlu Sidang Istimewa dipercepat atau tidak, selama itu pula Indonesia dicitrakan tak stabil. Begitu logikanya. Modal luar negeri hanya akan hinggap di wilayah yang dianggap stabil. Buktinya meski pemerintahan Soeharto dianggap korup, modal asing tetap datang. Baru ketika krisis moneter Juli tahun silam melanda, kredibilitasnya dipertanyakan. Tapi krisis ini juga kan melanda seluruh wilayah. Bahkan Korea Selatan juga terkena.

Lalu yang dibutuhkan apa?

Kestabilan politik. Stabilitas ini bisa dicapai dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek yang dibutuhkan adalah kesatuan elite. Elite semua diam. Biarkan Habibie berbuat sesuatu, ini adalah jalan terbaik untuk menciptakan stabilitas jangka pendek. Jangka panjangnya adalah menciptakan demokratisasi. Pemerintahan yang mendapat persetujuan dari

rakyatnya adalah pemerintahan yang stabil. Tapi untuk mencapai ke sana, sekarang ini, dibutuhkan kesamaan pandang. Kita sendiri yang menciptakan image tidak stabil. Dengan membiarkan tiap orang bicara terus-menerus. Menciptakan gerakan yang muncul di mana-mana, imagenya jadi tak stabil. Berita di luar negeri juga menurut saya distorsi. Inilah menurut saya problem yang dihadapi. Ibarat politik layangan robek. Waktu kita kecil mengejar layangan, daripada tidak dapat lebih baik layangannya robek. Itulah yang menimpa elite kini. Para elite itu ketika Soeharto berkuasa kan ada yang jadi menteri, pejabat, jenderal.

Praktis mereka punya uang, tabungan atau deposito. Karena itu mereka siap menghadapi krisis ini. Dapur mereka sudah aman. Elite ini pun cukup paham bahwa rakyat di bawah mengais rezeki dari berjalannya roda ekonomi. Kalau roda itu tak bekerja tak ada yang didapat. Yang menanggung akibat ketidakstabilan ini sebenarnya adalah rakyat kecil.

Artinya?

Kesiapan ekonomi itu menentukan artikulasi politik. Karena elite lebih siap menerima krisis ini. Maka, mereka lebih asyik bicara politik. Sementara massa yang berada di bawah tak punya persediaan, akan terkena dampak negatif dari krisis. Saya setuju dengan pendapat Anas Purbaningrum, jangan sampai rakyat merasa periode 32 tahun di bawah rezim Soeharto jauh lebih baik dari Orde Reformasi.

Bagaimana stabilitas itu harus dilakukan, agar tidak terjadi lagi tindakan represi pada demokrasi yang mengatasnamakan stabilitas?

Oleh karena itu, stabilitas yang dilakukan tak hanya mengandalkan ABRI, tapi juga kesepakatan elite tidak mempersoalkan Habibie konstitusional atau tidak. Jadi, kestabilan yang kita ciptakan adalah negara didukung kelompok masyarakat, dengan kesadaran masyarakat kelas bawah harus ditolong terlebih dahulu secara ekonomi. Ini kestabilan untuk jangka pendek.

Mengapa hal itu terlupakan?

Ini terlupakan karena bias politik. Elite memproyeksikan pikirannya sama dengan pikiran rakyat. Dia lupa ia punya uang banyak, apalagi konglomerat. Mereka ada orang-orang yang mendapat rezeki begitu banyak selama 32 tahun Soeharto berkuasa.

Sehingga berapa tahun pun krisis ekonomi mereka akan aman. Sementara sebagian besar masyarakat baru bisa makan jika roda ekonomi berjalan.

Bagaimana seharusnya?

Seharusnya posisi kelas menengah sama dengan pandangan masyarakat kelas bawah. Dalam arti bahwa masyarakat tumbuh perlahan memperkuat barisan kelas menengah. Proses demokrasi harus lahir alamiah, tak bisa dipaksakan. Karena apa? Karena pada dasarnya kelas menengah kita itu pada dasarnya adalah kelas yang tergantung pada negara. Kita harus bersabar sampai kelas menengah ini tumbuh dan semakin independen dari negara secara ekonomis. Itu dipercepat oleh globalisasi. Peran negara semakin mengecil. Kini yang terjadi masa depan kita tak pasti. Jadi, harus ada kebesaran jiwa untuk menerima rezim yang

sekarang ini.

Bagaimana cara menumbuhkan kesadaran seperti yang Anda maksud?

Itu tak bisa diserukan seperti cara khotbah Jumat. Wawancara semacam ini bisa membantu. Sebenarnya elite itu tak perlu diajar untuk sadar. Karena merekalah yang seharusnya menyadarkan masyarakat lain. Yang kita perlukan adalah kekuatan analisis untuk menyadarkan dari bias yang ada pada mereka.

Lalu, bagaimana dengan ABRI?

Saya lihat pernyataan Pangab Wiranto belakangan sangat bagus. Mendukung kepemimpinan Habibie dan Kabinet Reformasi Pembangunan. Itu yang saya sebut bentuk kesadaran elite politik. Tidak menganut politik layangan robek. Apa yang diungkapkan Wiranto adalah kesadaran pentingnya penyelesaian permasalahan bersama daripada individual. Jadi biarlah

pemerintah menyelesaikan masalah ekonomi, baru kemudian politik. Karena masalah politik kan sudah diagendakan. Nah, kemudian silakan kelompok-kelompok politik mempersiapkan, konsolidasikan diri. Saya memuji NU dan Soekarnois, mereka tak bersuara. Tapi mungkin saja mereka sedang mengkonsolidasikan diri untuk pemilu. Jadi, menarik kita lihat diamnya mereka itu.

Kembali ke masalah kepartaian, bagaimana Anda melihat pendirian Partai Reformasi Tionghoa?

Saya kira mereka adalah bagian dari demam reformasi. Mereka juga sebenarnya sadar mereka tidak ada pengikut. Berapa sih populasi mereka keseluruhan, cuma 2,5 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Untuk menjadi partai politik, harus mendapat dukungan. Sekarang hanya memanfaatkan situasi. Ini mungkin suatu eksperimen untuk menunjukkan sejauh mana masyarakat Cina secara politik acceptable. Ini adalah bagian reformasi.

Bagaimana soal pembauran warga keturunan dan pribumi ini di mata Anda?

Kalau perlu mereka ada yang jadi menteri. Selama ini kan mereka merasa teralienasi. Menyedihkan nasib mereka, terutama saat kerusuhan terjadi. Maka reformasi yang dilakukan haruslah reformasi visi sosial. Pertanyaannya kenapa tiap terjadi kerusuhan selalu mereka yang jadi sasaran. Jadi, reformasi visi sosiallah yang sangat penting. Karena ini mencakup seluruh permasalahan.

Mengapa setelah 50 tahun lebih merdeka, visi sosial itu tak juga kita miliki, berbeda misalnya dengan Malaysia?

Karena berbeda pula sejarahnya. Malaysia berani terus terang mengatakan fakta ada Cina, ada Melayu. Bikin perjanjian, tuangkan dalam bentuk undang-undang. Di Indonesia, kita semua bersembunyi di balik kata-kata. Terus terang saja katakan, Anda ada bagian sendiri, ada bagian kami. Problem lainnya adalah karena penguasa Orde Baru paranoid, selalu timbul

ketakutan. Jika pengusaha pribumi diberikan keleluasaan, penguasa khawatir mereka akan mempunyai kekuatan politik yang menandingi kekuatan penguasa. Pengusaha Cina bisa muncul tanpa pengaruh politik, karena tak punya basis dukungan.

Akhirnya, kecurigaan-kecurigaan terus muncul di masyarakat. Ada juga informasi yang diturunkan. Orang Cina juga misalnya mempunyai perasaan tak aman berada di antara pribumi. Jadi, ada penghalang psikologis yang terus-menerus terbentuk.

Bagaimana cara mendobraknya?

Harus ada integrasi budaya. Saat ini tidak ada orang Cina yang jadi seniman, jadi anggota Dewan Kesenian Jakarta. Anak-anak pengusaha Cina itu sibuk dengan kehidupannya sendiri. Tak ada kesempatan untuk mengenal dan bergaul, misalnya ke pusat-pusat kebudayaan, dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama. Jadi, kalau mau terjadi integrasi budaya, pergilah anak elite, pengusaha-pengusaha Cina itu, anaknya Sofyan Wanandi, Eka Tjipta, Prayogo, ke pusat-pusat budaya. Ke pusat-pusat kegiatan masyarakat. Kalau mereka tak tahu, saya siap mengantar mereka.

Perlu jugakah dibuka kesempatan pada warga keturunan untuk masuk militer atau pegawai negeri?

Perlu. Tapi ketika ditanya, mungkin KSAD menyatakan banyak kok perwira-perwira yang berasal dari etnis Cina. Tapi secara psikologis mereka cenderung memilih sektor swasta. (E-2)


BACK