Konvensi Antidiskriminasi akan Jadi Prioritas

Jakarta, Kompas
Menteri Kehakiman Muladi mengatakan, sebenarnya peraturan yang melindungi kepentingan kalangan minoritas di Indonesia sudah cukup.

Tetapi melihat perkembangan terakhir, yang diwarnai dengan huru-hara yang mengarah pada SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan), tidak mustahil Konvensi Internasional Antidiskriminasi akan diprioritaskan ratifikasinya.

"Sebenarnya berbagai peraturan serta undang-undang yang ada cukup memadai melindungi kepentingan Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan, khususnya Cina. Justru yang penting sekarang ini, adalah menciptakan rasa aman di kalangan mereka," ujar Muladi pada wartawan

dalam acara coffee morning di Jakarta, Senin (8/6). Dalam acara itu, Muladi didampingi Sekjen, Irjen, Dirjen, staf ahli dan anggota Tim Pakar Depkeh.

Muladi mengaku dirinya menerima pengaduan dari beberapa WNI Keturunan Cina yang menjadi korban kerusuhan, termasuk korban yang diperkosa. Korban mengalami trauma yang luar biasa.

Menurut Menkeh, setiap diskriminasi dalam bentuk SARA merupakan sebuah pelanggaran hak asasi manusia. Tetapi untuk membikin UU khusus yang memberikan perlindungan kepada WNI keturunan, khususnya Cina tampaknya belum perlu. Mungkin, pemerintah akan

memprioritaskan ratifikasi Konvensi Antidiskriminasi.

Sosiologis

Dikatakan, perlindungan terhadap WNI Keturunan sebenarnya tidak sebatas menyediakan perangkat hukum, termasuk meratifikasi konvensi.

Tetapi juga terkait dengan masalah pembauran dan problema sosiologis yang lain. "Persoalan pembauran atau sosial yang lain ini juga harus tuntas, sehingga tidak ada kecemburuan antar-etnis. Dan, di kalangan WNI keturunan sendiri harus mempunyai mekanisme mempertahankan diri," tegas Menkeh.

Muladi menambahkan, sebenarnya WNI keturunan Cina yang menjadi korban kerusuhan tanggal 13-15 Mei lalu, tidak seluruhnya bersalah.

Mereka adalah korban dari segelintir WNI keturunan yang mendapatkan perlakuan istimewa dalam pemerintah Orde Baru yang membuat sebagian rakyat kecewa dan iri. Namun diharapkan pula WNI keturunan Cina tak bersikap arogan dan eksklusif, karena dapat mengundang bahaya serta ketidaksukaan dari warga masyarakat yang lain.

Bantuan surat

Menkeh menyebutkan pula, gara-gara kerusuhan lalu tidak sedikit WNI Keturunan yang kehilangan surat keterangan jati dirinya, seperti surat bukti kewarganegaraan, paspor, surat keterangan balik nama dan dokumen lain. Untuk meringankan beban korban itu Menkeh mengeluarkan surat edaran Nomor A.UM.02.08-44 kepada Kepala Kanwil Depkeh seluruh Indonesia yang intinya agar korban itu dibantu pengurusan dokumennya tanpa berbelit-belit dan tambahan beban biaya.

Sementara Dirjen Imigrasi Pranowo menambahkan, selama massa kerusuhan 13-20 Mei 1998 tercatat 152.363 orang warga negara asing (WNA) dan WNI Keturunan Cina meninggalkan Indonesia. Sedangkan yang kembali antara tanggal 23-26 Mei 1998 - seminggu setelah kerusuhan, sekitar 51.160 orang. Diperkirakan, jumlah WNI Keturunan dan WNA yang sempat keluar dari Indonesia dan kembali lagi terus meningkat. (tra)


BACK