Partai Tionghoa Bagaikan 'Ular Cari Pukul'

Oleh Surya Paloh
SUATU fenomena baru yang kita saksikan lahir dalam era reformasi saat ini adalah munculnya berbagai partai baru, bagai cendawan di musim hujan. Yang cukup menarik perhatian dan yang lebih mengejutkan kita adalah munculnya Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti), yakni partai yang didirikan dan didukung oleh sekelompok warga Indonesia keturunan Cina.

Pada saat bangsa Indonesia masih terseok-seok memperjuangkan harmonisasi antara warga pribumi dan keturunan, terutama keturunan Cina, dan pada saat kehidupan berbangsa dan bernegara berada pada satu titik kritis, lahirnya Partai Tionghoa ini saya nilai justru kontraproduktif, dan bahkan menjadi ancaman terjadinya disintegrasi bangsa Indonesia.

Pembentukan Partai Tionghoa ini mengingatkan kita pada masa pendudukan Belanda dulu (1945-1950), pada saat pihak Belanda mempersenjatai warga keturunan Cina dan membentuk suatu pasukan pertahanan sipil yang dikenal dengan nama ''Lasykar Poh An Tui''. Langkah Belanda itu ternyata menimbulkan eksklusivisme pada kalangan etnis Cina dan pada akhirnya menimbulkan kebencian di kalangan kaum pribumi Republiken. Tidak hanya itu, langkah pembentukan Partai Tionghoa tersebut dapat disalahartikan sebagai pengingkaran cita-cita proklamasi kemerdekaan Indonesia dalam konteks pembentukan national character building.

Jika dinyatakan bahwa salah satu tujuan dari pendirian Partai Tionghoa untuk merangsang peran serta masyarakat Indonesia keturunan Cina untuk ikut memainkan peran yang lebih aktif dalam proses pembauran dan kesamaan hak dalam berbangsa dan bernegara, saya berpendapat bahwa hasil yang akan dicapai justru sebaliknya. Lahirnya Partai Tionghoa Indonesia akan merangsang dan menumbuhkan sikap antipati, penolakan, dan bahkan sikap bermusuhan --yang selama ini kita perjuangkan untuk dihilangkan-- dari kelompok-kelompok tertentu akibat sifat-sifat eksklusivisme yang dibawa oleh Partai Tionghoa tersebut dan

mayoritas anggotanya.

Apa pun dalih yang dikemukakan dan dijadikan landasan pemilihan nama Partai Tionghoa Indonesia mau tidak mau secara sadar sudah mencirikan sifat-sifat eksklusivisme tadi. Pikiran kritis kita akan mempertanyakan, lalu apa bedanya Partai Tionghoa tersebut dengan, misalnya, Partai Arab Indonesia, Partai India Indonesia, Partai Afrika Indonesia, bahkan Partai Amerika Indonesia sekalipun. Hal ini semakin menjauhkan kita dari semangat reformasi yang kita bangun dan nikmati bersama ini. Nasionalisme saya pribadi merasa tergugat, dan saya yakin tidak hanya saya sendiri.

Karena itu sebelum memberikan ekses negatif lebih jauh, sebaiknya Partai Tionghoa Indonesia segera membubarkan diri. Idealisme dan aspirasi para pendiri maupun anggota warga keturunan Cina atau Tionghoa itu tentunya dapat disalurkan melalui partai-partai

yang terbebaskan dari bentuk-bentuk primordialisme.

Suatu fakta perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa selama ini kaum etnis keturunan Cina terbatasi kegiatan profesinya di luar sektor ekonomi. Sudah saatnya mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya dalam segala aspek kehidupan dan berbagai jenis profesi yang ada. Demikian pula partai-partai politik yang ada maupun yang segera berdiri, yang datang dengan semangat reformasi, harus berani membuka diri terhadap masuknya warga Indonesia keturunan sebagai anggota. Yang tentunya agar selain saudara-saudara kita warga keturunan tadi dapat menyalurkan aspirasi sosial dan politiknya, diharapkan terjadi interaksi positif

antaranggota dalam wadah partai tersebut dan dapat ikut berperan mempercepat proses asimilasi antara warga pribumi dan keturunan.

Kita harus belajar dari kebodohan kita bersama. Kita juga berhak bangkit untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu. Tapi bukan berarti kita harus mengulangi kesalahan yang lebih besar lagi. Terbentuknya Partai Tionghoa Indonesia ini mengingatkan kita pada pepatah lama yang mengatakan, ''bagaikan ular mencari pukul.'' ***


BACK