Dua Sudut Pandang Berbeda Tentang Partai Tionghoa

MEDAN (Waspada): Dua sudut pandang berbeda tentang Partai Reformasi Tionghoa Indonesia, yakni antara membangkitkan semangat persatuan versus kekhawatiran untuk kembali terjebak eksklusivitas.

Pihak yang menyatakan keberadaan Parti positif untuk membangkitkan semangat persatuan bangsa, antara lain tokoh reformasi Dr H.M. Amien Rais, sedangkan pihak yang menyatakan partai Tionghoa tidak perlu karena kekhawatiran akan terjebak ke jurang eksklusivisme, adalah beberapa tokoh etnis Tionghoa di Medan. Komentar kedua pihak tersebut dikumpulkan Sabtu (6/6) dan Minggu (7/6) dari sumber terpisah.

Bung Karno mengutip Ernest Renant, kata Ketua Umum PP Muhamadiyah Amien Rais, yang mengatakan bahwa suatu bangsa menjadi kuat, bukan karena kesamaaan bangsa, ras atau bahasanya, melainkan ditentukan oleh kehendak untuk bersama dan hidup bersama (suasana dalam persatuan dan kesatuan).

Dr H.M. Amien Rais dan sejumlah tokoh berpendapat, kehadiran Partai Tionghoa Indonesia, tidak usah dipermasalahkan, asal berasaskan Pancasila.

Amien Rais mengemukakan hal itu dalam pertemuan ilmiah/Simposium "Pencerahan menuju Indonesia Baru", pada sesi yang dipandu Wimar Witoelar,MBA di Sasana Budaya Ganesha ITB, Bandung Sabtu (6/6).

Pada kesempatan tersebut, sejumlah pakar dan tokoh masyarakat itu mengedepankan pentingnya dibangun sistem nasional agar seluruh elemen bangsa Indonesia berkiprah mensejahterakan bangsa sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing- masing tanpa

diskriminasi.

Amien Rais mengemukakan keyakinannya bahwa kekuatan bangsa Indonesia terletak pada bagaimana kemajemukan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) diatur oleh sistem secara positif dan dengan visi yang tepat.

"Setengah abad lebih kita berpengalaman dalam berbangsa dan bernegara, mari kita kembali meletakkan semangat persatuan bangsa seperti yang dulu diutarakan Bung Karno," katanya.

Amien Rais mengedepankan, kehadiran Partai Tionghoa Indonesia dapat menjadi sesuatu yang positif bila dijalankan orang-orangnya untuk menjabarkan semangat persatuan bangsa dan asas saling menghormati.

Di samping itu, katanya, orang-orang "keturunan" China selain mendirikan partai, harus dengan secara sengaja dan sistematik mengupayakan hilangnya citra buruk yang kerap ditujukan kepada mereka.

Dia juga mengemukakan, bagi orang-orang keturunan China yang selama ini cenderung hanya berdagang, harus dimungkinkan untuk meluaskan kiprahnya tanpa diskriminasi, misalnya bila mereka ingin menjadi polisi bahkan jaksa agung sekalipun.

Di sela-sela simposium tersebut, sosiolog Prof Dr Loekman Soetrisno kepada wartawan mengemukakan, Indonesia yang modern dan maju dapat diwujudkan bila diskriminasi dihilangkan.

Orang-orang "peranakan" Tionghoa, katanya, dalam hal itu, boleh saja mendirikan partai politik.

Loekman Soetrisno mengemukakan seperti yang pernah ditulisnya beberapa tahun silam, mendukung "peranakan" Tionghoa di Indonesia mendirikan partai politik, karena dengan mereka pun, misalnya dapat mengkritik warganya yang berkolusi.

Sementara di atas mimbar, Prof Dr Iskandar Alisyahbana mengemukakan, salah satu cara untuk mempertebal persatuan bangsa adalah dengan membuka ruang agar kalangan pribumi yang jumlahnya 97 persen, tidak jauh oleh non-pribumi China dalam perekonomian.

Dari segi ras, katanya, yang disebut pribumi Indonesia dan non-pribumi China itu sama karena asal usulnya dari ras Mongol.

"Hanya," kata mantan rektor ITB itu, "kalau sampai sekarang nonpri China selalu menjadi sasaran penjarahan dan pengkambinghitaman, hal itu dikarenakan faktor kesenjangan ekonomi."

Tidak Perlu

Pendapat lain menegaskan, Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti) tidak perlu ada, karena akan menimbulkan pengkotak-kotakan baru (eksklusivisme) serta merusak proses asimilasi atau pembauran bangsa.

Hal tersebut dikemukakan kalangan tokoh masyarakat keturunan Tionghoa, antara lain Ketua DPD Generasi Muda (Gema) Budha Indonesia (Budhis) Sumut dr Sofyan Tan, tokoh WNI turunan Tionghoa Medan Baru, Ong Kim Hwa (Johannes Citra), dan tokoh masyarakat Tionghoa bagian timur Medan, Law King Huat (Sofyan).

Memberikan keterangan kepada wartawan di Medan Minggu (7/6) tentang terbentuknya Parti di Jakarta Jumat pekan lalu, mereka mengatakan pula, Parti akan membawa bangsa Indonesia ke masa sebelum dicetuskannya Soempah Pemoeda pada Oktober 1928.

Menurut mereka, dewasa ini yang perlu ialah memberi kesempatan kepada WNI turunan untuk berpolitik sehingga mereka mempunyai wakil pada badan legislatif. Tetapi utusan di legislatif ini harus benar-benar membawa aspirasi WNI turunan sehingga proses mengisi

kemerdekaan pada alam pembangunan sesuai dengan semangat reformasi.

Sofyan Tan yang meraih gelar Pemuda Pelopor 1992 ini mengatakan, mengkotakkan warga berlatar belakang etnis keturunan sama dengan menciptakan satu fanatisme baru yang mengundang perbedaan.

Sementara Johannes Citra yang pengusaha dan aktifis sejumlah organisasi kepemudaan ini sependapat dengan Presiden BJ Habibie, bahwa WNI adalah mereka yang memikirkan bangsa ini tanpa memikirkan latar belakang asal maupun keturunan.

Keberadaan Parti sama dengan menjungkirbalikkan Badan Komunikasi Penghayatan Kesatuan Bangsa (Bakom PKB) yang telah berupaya membaurkan WNI keturunan dengan saudara-saudaranya yang lain.

Mengakhiri keterangannya mereka mengharapkan agar saluran-saluran politik resmi yang sudah ada lebih memberikan peluang kepada WNI turunan untuk menyampaikan aspirasi maupun berpolitik.

Bergabung Saja

Sementara itu, di sela-sela simposium tersebut, Dr Arief Sidharta, SH mengemukakan, pendirian Partai Tionghoa Indonesia merupakan suatu kemunduran 50 tahun karena golongan itu berpotensi kembali terjebak pada eklusivitas.

"Lebih baik," kata mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan itu, "orang-orang Tionghoa Indonesia masuk ke partai-partai yang sudah ada, supaya dapat lebih membaur."

Kalau tidak ingin "selalu" jadi sasaran amuk massa, katanya, orang-orang 'peranakan" China Indonesia perlu mawas diri dan menghilangkan sifat arogan (angkuh), serta bersedia membantu dan melibatkan diri untuk mengembangkan perekonomian kalangan pribumi.

Kelompok Jimbaran beberapa waktu silam gencar menggalang kerja sama dengan pengusaha kecil dan menengah namun belum nampak hasilnya.

Mengomentari hal itu, Arief Sidharta menilai, fenomena itu dikarenakan pelaksanaannya kurang konsisten dan mungkin karena kerja sama tersebut belum menemukan format yang tepat. (Ant/m20/R-m17)


BACK