110.000 KK lari ke LN

JAKARTA, (PR).-

Selama kerusuhan lalu, tak kurang dari 110.000 KK warga keturunan Cina "melarikan" diri keluar negeri. Seandainya diasumsikan setiap KK warga keturunan ini membawa uang rata-rata sejumlah USD 1 juta saja, maka uang yang dibawa ke luar Indonesia mencapai USD 110 miliar.

Demikian data yang diungkap Kelompok Pengusaha Reformasi, di Jakarta, kemarin (5/6).

Menurut Naldy Nazar, juru bicara kelompok itu, data ini diperoleh dari sejumlah pengusaha

warga keturunan yang saat ini masih bertahan di Indonesia. "Selain itu, dari hasil pelacakan

kelompok kami, jumlah uang yang 'diparkir' 53 konglomerat Indonesia di luar negeri, jumlahnya minimal mencapai USD 160 miliar," tambah Naldy.

Dia menjelaskan, bagaimana cara untuk menarik para warga keturunan yang umumnya pengusaha itu kembali ke Indonesia, inilah yang menjadi target utama Kelompok Pengusaha Reformasi.

Sebab kehadiran mereka yang sebagian besar pengusaha menengah ini, akan mampu ikut menggerakkan kembali roda perekonomian, termasuk melancarkan lagi jalur-jalur distribusi barang yang terputus.

"Kalau sekadar dipanggil, mereka tentu menolak. Sebab bagi mereka yang dibutuhkan saat ini

adalah jaminan keamanan untuk dapat berusaha kembali. Karena itu, kami usulkan agar pemerintah memberikan konsep yang konkret tentang jaminan keamanan berusaha, sebab trauma atas kejadian yang lalu masih membekas pada mereka," sambung Naldy.

Sebagian besar ingin kembali

Mantan Ketua Himpunan Pengusaha Peribumi Indonesia (Hippi) itu mengatakan, pihaknya telah melakukan pendekatan dengan sejumlah pengusaha keturunan yang masih bertahan. Dari rangkaian dialog yang dilakukan, disimpulkan bahwa pada umumnya mereka bersedia untuk tetap berusaha di Indonesia. Bahkan sebagian besar pengusaha keturunan menengah dan kecil itu, sudah menganggap Indonesia sebagai tanah airnya.

Yongki Sutedy, tokoh pengusaha keturunan yang hadir kemarin, mengatakan, dari kontak yang dilakukannya dengan rekan-rekannya yang masih di luar negeri, diperkirakan 10.000 sudah menyatakan akan "hijrah" ke negara lain (kebanyakan ke Singapura &AMP Hongkong), 20.000 ragu-ragu, dan sisanya sekitar 90.000 bersedia kembali jika keadaan sudah mereka nilai aman.

"Semua pengusaha keturunan yang non-konglomerat ini berpendapat sama, yakni mereka dicengkam rasa takut. Mereka menilai, pemerintah hingga kini belum mampu menjamin keamanan berusaha. Semuanya masih trauma, apa yang dibangun selama ini hancur total dalam 24 jam.

Dengan tidak adanya peluang usaha, maka mereka lebih baik menyimpan uangnya di luar negeri," kata Yongki.

Dia mengatakan, lewat Kelompok Pengusaha Reformasi para pengusaha keturunan sudah menyatakan tekadnya untuk bergabung. Pertama, karena kelompok ini tidak membedakan antara pri dan nonpri. Kedua, karena kelompok ini semata-mata bertujuan untuk memperbaiki tatanan berusaha, tanpa dilandasi tujuan politik untuk kepentingan tertentu.

Sedangkan Naldy mengatakan, target utama kelompoknya memang untuk mencari cara bagaimana dana-dana yang ada di luar itu dapat kembali ke Indonesia. Tentu kelompok ini tak dapat bekerja sendiri tanpa kerjasama dengan pemerintah, bank Indonesia serta instansi terkait lainnya. "Niat kami tulus saja, bagaimana mengatasi perut lapar, yang dampaknya bisa lebih buruk lagi dibanding kerusuhan yang lalu".

Menurutnya, bagi mereka yang tidak akan kembali juga tak perlu dipaksa. Hanya saja, jika mereka masih punya utang-piutang di sini, maka sebaiknya diselesaikan dulu, agar pengusaha keturunan lainnya yang ingin tetap di Indonesia tidak kena getahnya. "Coba kita tanamkan secara bersama rasa aman. Kita butuh uang sekarang ini, karena itu coba kita rangkul mereka ini," katanya.

Solidaritas Nusa-Bangsa

Secara terpisah kemarin, sejumlah pemain dan mantan pemain nasional bulutangkis termasuk di dalamnya mantan anggota Tim Piala Thomas dan Uber 1998, Rexy Mainaki, Susi Susanti, Eliza, memberikan dorongan moril bagi program Solidaritas Nusa-Bangsa, di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Jumat.

Para atlet dan mantan atlet yang hadir di YLBHI antara lain Rudi Hartono, Imelda Wiguna, Tan Joe Hok, Alan Budikusuma, Rexy Mainaky, Susi Susanti, Meluawati, Eliza, Minarti Timur.

Kehadiran mereka menarik perhatian pengunjung lainnya, yang sebagian besar terdiri dari warga keturunan.

Sore itu, sebuah organisasi yang menamakan diri Komite Pemuda Indonesia untuk Penghapusan Diskriminasi Ras (KPIPD) meluncurkan program Solidaritas Nusa-Bangsa, yang intinya memberikan advokasi kepada korban-korban diskriminasi ras, terutama yang diderita para warga keturunan Tionghoa.

Acara ini dimulai dengan pemutaran rekaman video kerusuhan di berbagai tempat di Jakarta dan kota-kota lain, yang menggambarkan adanya upaya penjarahan, pembakaran dan perusakan toko-toko milik warga keturunan. Selain itu, rekaman itu menunjukkan perlakuan dari warga pribumi" kepada warga keturunan.

Ratusan warga keturunan hadir di YLBHI, mulai dari atlet, mahasiswa, pengusaha, rohaniwan, dan lain-lain. Hadir pula Anton Medan. Setelah itu mereka menggelar diskusi dengan pembicara Dr. Muh. AS Hikam, Dr. Onghokham, dan Romo Sandyawan. Sedangkan Christianto Wibisono dan Prof. Dr. Bagir Manan, SH tidak dapat datang.

Menurut Ketua Dewan Pekerja KPIPD, Ester Indahyani Jusuf, SH, program Solidaritas Nusa-Bangsa bertujuan melakukan beberapa akativitas antara lain melakukan evakuasi korban akibat kerusuhan; pendampingan korban dan perlindungan hukum; melakukan gugatan class-action terhadap pemerintah; membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya persamaan hak; melakukan kampanye UU Anti Diskriminasi Ras dan penghapusan perundang-undangan yang membiarkan dan atau mendukung terjadinya diskriminasi ras.

Menurut Ester, sejak kemerdekaan hingga kini, peristiwa kerusuhan seperti yang terjadi Mei lalu, selalu terjadi. Anehnya, kejadian tersebut biasa terjadi ketika muncul friksi maupun krisis politik di tingkat elite. "Ini menandakan sekaligus menyadarkan bahwa persoalan diskriminasi, khususnya diskriminasi ras dan agama, sudah dimasukkan ke dalam sistem tawar-menawar politik dalam sebuah negara dengan ciri kemajemukan yang kental," katanya.

Sementara itu, mantan juara All-England 8 kali, Rudi Hartono, menyatakan keprihatinannya atas kejadian kerusuhan yang selalu menempatkan warga keturunan Tionghoa itu. Padahal, sebagai warganegara Indonesia, mereka juga merasa sebagai anak Indonesia yang berjuang untuk Indonesia. "Kalau kami bertanding, maka itu seratus persen ingin membela nama Indonesia," kata Rudi.

Pada kesempatan yang sama pemain asal Tasikmalaya, Susi Susanti mengemukakan, kejadian

tersebut tidak hanya merugikan perorangan tetapi juga bangsa Indonesia. Sebab bangsa Indonesia selama ini dikenal sebagai bangsa yang menjaga persatuan dan kesatuan tanpa membedakan asal suku, etnis, agama maupun golongan.

Pelatih putri Imelda Wiguna menambahkan, program "Solidaritas Nusa Bangsa" sebagai upaya bahwa mereka peduli terhadap keadaan bangsa. "Kita ini sebagai Warga Negara Indonesia, tidak ingin disebut eksklusif. Kita ingin menunjukkan perhatian," ujarnya.

Dirikan Partai Tionghoa

Sementara itu, lima aktivis, pengacara dan pengusaha muda keturunan Tionghoa memberanikan diri untuk mengumkan berdirinya Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti). Deklarasi ini diumumkan di gedung Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Jakarta, Kamis. Para dekralator adalah Lieus Sungkharisma, Cecep Adisaputra, Ponijan, Alexander Ferry, dan Yulianus Juta.

Menurut Lieus, pemerintah Orde Baru telah gagal membangun keharmonisan dan asimilasi antara pribumi dan non-pribumi, sehingga menimbulkan semakin lebarnya kesenjangan antara kedua golongan ini.

"Maka kami sebagai warga Indonesia keturunan Tionghoa merasa terpanggil untuk mengurangi kesenjangan itu melalui pendirian satu partai, yang diharapkan dapat mereformasi kesenjangan yang ada serta pemikiran yang mengarah kepada hal-hal yang bersifat destruktif dari kedua pihak," kata Lieus yang Bendahara Umum DPP KNPI ini.

Lieus mengakui bahwa belum tentu warga keturunan Tionghoa akan bergabung dengan Parti

karena masih ada trauma-trauma sejarah. Namun, kalau kesadaran ini tidak dibangunkan

sekarang, maka warga keturunan akan terus diliputi trauma. "Padahal WNI keturunan Tionghoa sebagai bagian dari WNI, memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti telah ditegaskan oleh Pancasila dan UUD 45," ujar mantan Ketua Umum DPP Gema Budhi ini.***


BACK