< INDO CHAOS
Ketika Spirit Bisnis Sudah Menguap

INI kisah Aceng, usahawan produk elektronik. Akibat yang ditimbulkan kerusuhan 14 Mei di Jakarta terhadap usahanya amat besar. Tiga rumah toko (ruko) miliknya yang dijarah dan dibakar massa yang geram, bernilai satu milyar rupiah lebih. Nilai uang sebesar itu dihimpun atas kerja keras tiga generasi. Kakeknya, yang datang dari Xiamen, pantai timur Cina, membuka usaha hasil bumi di Parigi, Sulteng, tahun 1937. Dari laba yang terkumpul di situ, si kakek hijrah ke Makassar untuk membuka usaha lebih besar. Si kakek meninggal di Makassar, lalu usahanya diteruskan anaknya, ayah Aceng. Si ayah berhasil mengembangkan usahanya, sampai dia meninggal dunia. Usaha si ayah inilah yang kemudian diteruskan Aceng, di Jakarta. Perusahaan itu tumbuh lebih subur, dan menjadi pedagang barang-barang elektronik. Tapi, ketika ia ingin mulai menikmati hasil kerja keras tiga generasi itu, rukonya diamuk massa. Ia nyaris tidak punya apa-apa, kecuali sedikit tabungan di dua bank BUMN.

Amat banyak kisah seperti Aceng di kawasan Mangga Dua, maupun di sentra bisnis lainnya seperti Glodok, Gajah Mada, Hayam Wuruk, Cileduk, Klender, Palmerah, dan sebagainya. Kisah serba memilukan itu, jika dihimpun menjadi satu buku, akan memperkaya kepustakaan dan sejarah Republik ini.

KERJA besar-besaran untuk membersihkan sisa-sisa kerusuhan 14 Mei di Jakarta sudah dimulai sejak dua pekan silam. Aparat kebersihan Pemda menyapu bersih bangkai mobil, dan bekas-bekas kebakaran yang merintangi jalan. Para pengusaha mulai membenahi tempat usahanya untuk membangun kembali masa depannya di sana. "Tapi aktivitas para usahawan itu cuma pupur. Mereka mencoba melupakan kepahitan 14 Mei, tapi saya sangat yakin, jauh di lubuk hati mereka, bersemayam rasa takut yang hebat," ungkap Hari Setiawan, usahawan komputer di Mangga Dua, Jakarta, Rabu (3/6).

Hari, dan sejumlah pedagang lain di Mangga Dua, maupun di kawasan Glodok mengatakan, kegiatan membersihkan ruko hanya sekadar menghilangkan kesan kumuh, dan seram. Untuk membuka toko lagi, perlu waktu dan dana besar.

Pedagang lainnya bercerita, mereka membuka usaha lagi sekadar menghabiskan stok yang ada di gudang yang selamat dari amukan massa.

Setelah itu, mereka tidak tahu apakah akan meneruskan usaha atau menjual semua aset yang tersisa, lalu mengdepositokan saja seluruh dana itu di bank. Mumpung suku bunga deposito sedang gila-gilaan tingginya.

"Ngapain bisnis lagi. Nanti dijarah dan dibakar lagi, terus kami miskin lagi. Setelah itu, kami bangun lagi, bisnis lagi dengan all out, terus dijarah dan dibakar lagi. Walaaahh...," tutur Bima Santosa pedagang barang campuran di Mangga Dua.

Bima mengungkapkan kekhawatirannya karena melihat munculnya kecenderungan sebagian masyarakat kurang menyukai usahawan.

BEBERAPA pengusaha menengah di Mangga Dua (Pasar Pagi) maupun ITC Mangga Dua menuturkan, soal paling mengerikan sekarang bukanlah bagaimana membangun kembali ruko, mencari kredit lunak untuk menyambung nyawa usaha, melainkan membangkitkan kembali semangat berbisnis, seperti diutarakan Bima.

Spirit ini melunglai lantaran tiadanya jaminan keamanan berusaha dari pemerintah, nihilnya garansi bahwa semua warga negara, maupun orang asing yang berbisnis secara legal, dijamin penuh pemerintah. Pemerintah pun, tidak menunjukkan sikap jiwa besar untuk minta maaf atas kerusuhan di Jakarta 14 Mei lalu, maupun kerusuhan di kota-kota lainnya. Yang muncul selama ini hanyalah pernyataan elite negara, seperti Men-hankam/Pangab, yang sangat menyesalkan dan prihatin atas peristiwa itu.

Surutnya elan berbisnis, tentu saja bukan hanya menghinggapi para usahawan di sana, di Kota, atau di bagian lain Jakarta, melainkan juga merasuk ke pemain ekonomi di kota-kota lain. Produsen jadi malas berproduksi, pihak yang bertugas memasok enggan habis-habisan menyuplai, lalu usahawan atau pengecer yang berfungsi memasarkan produk itu langsung ke konsumen juga kehilangan gairah dan semangat. Bank yang berfungsi memasok kredit, kehilangan daya, karena umumnya deposan malas mengambil kredit lantaran amat tingginya suku bunga pinjaman. Ini tentu saja pada gilirannya berpotensi memacetkan ekonomi nasional.

Sejumlah pengusaha yang frustrasi oleh situasi yang mandek ini, mengambil jalan pintas. Melepas asetnya dalam harga murah, lalu menanam seluruh dananya di bank. "Lebih baik begitu, tidak usah pusing. Dengan bunga Rp 80 juta per bulan, 'kan senang hidup ini?" ujar Achmad Widiarto, usahawan garmen.

PERISTIWA penjarahan dan pembakaran sentra-sentra bisnis di Jakarta, termasuk di kawasan pusat elektronik Harco Mangga Dua, dan sekitarnya, diperkirakan membawa dampak buruk bagi sentra bisnis itu. Kawasan bisnis yang biasanya hiruk-pikuk itu, kini sepi. Omzet para pedagang jatuh 70-80 persen.

Apa yang terjadi di Mangga Dua tentu saja patut disayangkan. Sebab kawasan ini sudah benar-benar menjadi sentra bisnis terkemuka di Indonesia.

Lima belas tahun lalu, Mangga Dua hanyalah daerah marginal yang tidak dilirik pedagang. Para saudagar lebih senang berlabuh di kawasan Glodok, Gadjah Mada, Asemka, Pinangsia, Pintu Besar, Pintu Kecil, dan kawasan Pasar Pagi. Tetapi setelah Mangga Dua dibangun, di

antaranya sebagai pengganti peran Pasar Pagi, Mangga Dua dengan cepat menjadi salah satu sentra bisnis utama di DKI Jakarta. Kilap Mangga Dua menyaingi kilap bisnis di Tanahabang dan bahkan Glodok. Bayangkan saja, dalam radius satu kilometer, terdapat 80 buah bank beroperasi di sana. Demikian banyaknya bank mengindikasikan besarnya perputaran uang.

Cap paling khas bagi Mangga Dua - yang sekaligus melambungkan namanya - adalah produk bagus yang dijual murah. Komoditas yang ditawar-kan adalah garmen, barang-barang kerajinan, barang-barang elektronik, aksesoris, alat-alat tulis dan sebagainya.

Rusaknya kawasan bisnis Mangga Dua diperkirakan membawa akibat buruk. Konsumen dari berbagai kota dan negara yang saban hari bersesak-ria di sana, paling tidak untuk sementara, mendapatkan suasana tak nyaman. Akibat lainnya, para pemasok yang selama ini sukses

menyodorkan produk murah, kini terancam bangkrut lantaran kesulitan melemparkan produk.

Mereka pun agak sulit mendapatkan bahan-bahan impor karena begitu sulitnya mengimpor berbagai komoditas dari luar negeri setelah L/C Indonesia tak laku di luar negeri. (Abun Sanda/Yovita Arika)


BACK