Kesenjangan sosial, ekonomi dan politik
ANALISIS KWIK KIAN GIE
Semuanya sepakat bahwa apa yang terjadi di Tanah Air, terutama
di Jakarta, dengan dan setelah gugurnya beberapa mahasiswa Universitas
Trisakti, para anggota aparat keamanan, dan anggota masyarakat,
termasuk kaum miskin yang melakukan penjarahan, sangat memilukan,
mencemaskan, menyedihkan, mengerikan, menakutkan, dan seterusnya.
Apakah kesemuanya ini masih kurang dan masih akan terjadi peristiwa-peristiwa
destruktif yang lebih hebat lagi di hari-hari mendatang?
Kita tidak tahu. Yang jelas ialah betapa pendeknya ingatan kita,
dan betapa besar kesenjangan antara kemampuan berpikir dan kemampuan
berbuat. Sudah sejak sangat lama kita mendengar para pemimpin
kita mengatakan bahwa apabila kesenjangan sosial, lebarnya jurang
antara kaya dan miskin tidak diatasi secepat mungkin, niscaya
akan terjadi ledakan sosial, kerusuhan, keonaran, chaos. Anehnya,
setelah terus- menerus mengucapkan kalimat-kalimat tersebut, perbuatan
nyata untuk mengurangi atau menghapus tidak ada. Sebaliknya, ketika
ada yang mengingatkan tajamnya kesenjangan antara kekayaan dan
pola serta gaya hidup orang-orang kaya dan rakyat miskin di belakang
hotel-hotel mewah di Jakarta, dikatakan supaya jangan berbicara
tentang pemerataan kalau produk domestik bruto masih rendah. Pasalnya,
kalau secara agregat masih miskin sudah berpikir tentang pemerataan,
yang diratakan hanya kemiskinannya saja. Memang yang mengatakan
demikian konsisten. Karena
ketika pendapatan nasional per kapita melampaui 1.000 dollar AS,
banyak pikiran, gagasan, dan program pemerataan dilontarkan. Tetapi
sayangnya terlambat. Proses pemupukan kekayaan oleh sekelompok
kecil manusia berlangsung terlampau lama, sehingga sebelum proses
pembagian kuenya diatur secara tertib melalui mekanisme pengurusan
negara yang "konstitusional", rakyat sudah tidak kuat
menahan dan sudah tidak sabar lagi.
Yang sangat tragis ialah adanya kelompok orang yang sejak awal
sudah menentang strategi pembangunan yang membuat kaya sekelompok
kecil pengusaha terlebih dahulu, baru melakukan pemerataan. Disebutlah
beberapa negara sebagai contoh, bahwa di sana bisa membangun sambil
merata, sedangkan pertumbuhannya lebih cepat. Tetapi tidak ada
yang menggubris. Lebih tragis lagi untuk kelompok ini adalah bahwa
yang menyuarakan "kaya dulu oleh sekelompok kecil, baru pemerataan",
sekarang yang paling nyaring bersuara kita perlu reformasi total.
Saya menjadi bingung. Kita sekarang sudah jatuh miskin kembali.
Dengan nilai rupiah yang merosot menjadi demikian rendahnya, pendapatan
nasional per kapita menjadi sekitar 300 dollar AS lagi, yang mungkin
akan menurun lagi di bulan-bulan mendatang. Lantas bagaimana strateginya
sekarang? Kita ulangi lagi, yaitu membentuk kelompok elite baru
yang terdiri atas sedikit orang yang harus menjadi lokomotif pembangunan?
Dan kalau mereka sudah menjadi sangat kaya raya seiring dengan
pertumbuhan ekonomi yang agregat dan bisa terjadi tanpa pemerataan
dan keadilan itu, barulah kita berpikir pemerataan?
Akankah kita ulangi strategi itu, atau kita pikirkan strategi
yang mulai dari memberikan kesempatan berusaha yang sama, merata
dan adil buat siapa saja? Mungkin yang terakhir ini yang akan
kita tempuh, karena strategi "senjang dulu, asalkan kaya,
dan barulah pemerataan", ternyata gagal. Alangkah mahalnya
biaya yang harus kita bayar. Banyak yang bisa saya kemukakan tentang
betapa besar kerugian yang kita derita. Tetapi satu saja. Semua
yang kita lihat hampir sebagian besar dibiayai oleh utang luar
negeri yang dalam dollar. Sekarang dibakar habis, tetapi utangnya
masih menganga, dan masih dalam dollar yang nilainya sudah melonjak
empat kali lipat.
Belum lagi kerugian akhlak, moral dan nilai, karena anak-anak
berusia belasan tahun menjarah, merampas barang orang lain bagaikan
pesta pora. Seluruh dunia menyaksikannya melalui siaran TV internasional.
Orang yang terkena jarah, rampok, pembakaran terkejut, takut,
cemas, marah dan menangis. Sedikit yang berpikir dengan tenang
dan mendalam, mengapa bisa terjadi seperti ini? Mengapa rakyat
Indonesia yang lemah lembut itu bisa menjadi penjarah dengan suasana
yang pesta pora?
***
SAYA menyempatkan waktu merekam apa yang ada di benak mereka.
Ternyata beragam. Sebagian karena lapar. Sebagian mengatakan karena
seumur hidupnya hanya dapat menyaksikan the haves berbelanja sambil
ngiler dan membawakan barang belanjaan mereka. Sekonyong-konyong
bisa mengambil barang-barang tanpa bayar. Sebagian lagi mengatakan
seumur hidupnya tidak pernah memiliki televisi, VCR dan lain-lain,
dan sekarang sekonyong-konyong bisa dapat gratis. Ada yang mendongkel
pintu, membuka jalan, dan membiarkan massa menjarah. Dia sendiri
tidak mengambil apa-apa. Dia mengatakan, "saya sudah lama
muak menyaksikan betapa arogan dan keterlaluannya pola hidup mereka
di tengah-tengah pemukiman yang kumuh di Jakarta". Apakah
dia penjahat, ataukah ada idealisme di benaknya, yang memang salah
kaprah penyalurannya? Apakah mereka penjahat, ataukah ini yang
kita katakan kesenjangan sosial?
Saya tertegun, tenggorokan saya agak tersumbat ketika mendengarkan
syair Rendra yang dibacakannya sendiri di lantai 12 gedung rektorat
Universitas Trisakti pada hari berkabung tanggal 13 Mei 1998.
Maka segera saya hampiri dia dan mohon diperkenankan memasyarakatkannya.
Langsung dikirimkannya melalui faksimili kepada saya.
Terima kasih Bung Rendra. Demikianlah bunyinya:
Karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu...
karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan...
maka kita bukan sekutu.
Karena kami kucel
dan kamu gemerlapan...
Karena kami sumpek
dan kamu mengunci pintu...
maka kami mencurigaimu.
Karena kami terlantar di jalan
dan kamu memiliki semua keteduhan...
Karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal pesiar...
maka kami tidak menyukaimu.
Karena kami dibungkam
dan kamu nrocos bicara...
Karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan...
maka kami bilang TIDAK kepadamu.
Karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana...
Karena kami cuma bersandal
dan kamu bebas memakai senapan...
Karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara...
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu.
Karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu.
***
YANG digambarkan oleh Rendra adalah kesenjangan in optima forma
dalam segala bidang, yaitu sosial, ekonomi, dan politik.
Apakah Rendra pro-kekerasan, pro-penjarahan, pro-pembakaran, pro-perusakan?
Mengenal Rendra, saya berani mempertaruhkan nyawa saya untuk mengatakan
bahwa dia tidak demikian, bahwa dia sangat berbudaya, bahwa dia
sangat peka dan perasa menangkap aspirasi, penderitaan, dambaan
dan kebutuhan hidup anak Tuhan yang sama-sama memiliki negara
Republik Indonesia tercinta ini. Apakah Rendra tidak setuju bahwa
mereka harus ditertibkan demi ketenteraman seluruh warga? Saya
yakin bahwa dia setuju. Tetapi benarkah kesenjangan dan ketidakadilan
yang disuarakan oleh Rendra? Saya yakin itu benar. Benarkah suasana
batin bagian terbesar rakyat Indonesia seperti yang dipuisikan
oleh Rendra? Saya yakin bahwa itu betul.
Jadi terus bagaimana? Jawabnya sangat sederhana, yaitu prevensi,
pencegahan. Bukan dibiarkan berlarut-larut, dan baru terpaksa
menindasnya dengan kekerasan.
Bagaimana caranya? Sederhana. Strategi pembangunan dan akhlak
yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Orang mengatakan bahwa sosial, ekonomi dan politik tidak bisa
dipisah-pisahkan ke dalam kotak-kotak yang satu dengan lainnya
tidak saling berhubungan. Kesenjangan ekonomi yang menjadi kesenjangan
sosial sudah disentuh.
Bagaimana dengan kesenjangan di bidang politik? Saya kira cukup
jelas tanda-tandanya bahwa ada kesenjangan antara aspirasi rakyat
dengan aspirasi para anggota MPR yang secara konstitusional mewakili
rakyat. Kalau benar ada kesenjangan, maka lembaga yang konstitusional
ini dalam kenyataannya sebuah struktur organisasi formal yang
tidak didukung oleh aspirasi dari rakyat yang diwakilinya. Adakah
struktur organisasi yang demikian, dan apa yang akan terjadi?
Dalam ilmu manajemen kita mengenal adanya organisasi yang formal
dan organisasi yang nonformal. Kita mengenal adanya pemimpin formal
dan pemimpin yang nonformal. Kalau aspirasi seluruh karyawan sebuah
perusahaan memang tercermin dalam struktur organisasi yang lengkap
dengan manusia-manusia yang duduk dalam berbagai jenjang itu,
maka pemimpin formal sama dengan pemimpin nonformal. Tetapi kalau
struktur organisasi digambar oleh pemilik perusahaan sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi, yang ternyata tidak mewakili aspirasi seluruh
karyawan perusahaan, para karyawan tidak berdaya mengubah. Namun
para karyawan secara sendiri-sendiri akan mendengarkan orang-orang
yang dianggapnya sebagai pemimpinnya yang sejati, sehingga merekalah
yang didengar, yang dituruti perintahnya, yang digugu. Bukan orang-orang
yang tergambar dalam struktur organisasi yang formal. Dengan sendirinya
organisasi yang formal menjadi lumpuh.
Wahai para anggota MPR. Mampukah Anda menangkap aspirasi rakyat
yang sesungguhnya, dan mampukah Anda mengambil sikap dan keputusan
yang sesuai dengan aspirasi dari rakyat yang Anda klaim sebagai
konstituansi Anda? Kalau tidak, maka Anda adalah "batu tanpa
hati" menurut Rendra, berhadapan dengan "arus kali"
menurut Rendra, yang akan mengikis Anda yang "batu"
itu menurut Rendra pula.*
|