Reformasi Politik SARA

Oleh Adhie M Massardi

SUNGGUH sial nasib warga negara Indonesia keturunan Cina di Tanah Air. Hampir sepanjang masa etnik yang juga disebut "nonpri" ini senantiasa diposisikan sebagai "mereka" yang bukan "kita". Berbagai upaya memasukkan "mereka" dalam mainstream "kita", juga upaya "mereka" menembus wilayah "kita", tak pernah menghasilkan kesepakatan sejati. Seperti dalam permainan ular-tangga, selalu terperosok ke kotak kepala ular yang menyeretnya kembali ke titik awal. Bahkan "mereka" yang merasa sudah benar-benar menjadi "kita" -karena itu tak sungkan menyuarakan hati nurani bangsa - tak pernah sepenuhnya bisa masuk dalam lingkaran "kita".

Memang, berbeda dengan kelompok minoritas di negara lain, meskipun dalam posisi bukan "kita", etnik Cina di sini bukanlah warga negara kelas dua, apalagi yang dipinggirkan. Kepiawaiannya di sektor ekonomi membuat etnik Cina menjadi warga istimewa. Lebih-lebih sejak era Orde Baru, yang menggulirkan sistem pemerintahan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, etnik Cina bagaikan ikan yang dicemplungkan ke dalam kolam. Menjadi yang paling lincah berenang, hingga memperoleh paling banyak kesempatan.

Keberhasilan etnik Cina menguasai sektor ekonomi nasional oleh banyak pakar ilmu sosial kita selalu disebut sebagai faktor "pencetus kecemburuan sosial", penyebab seringnya mereka jadi sasaran "amuk massa". Peristiwa kerusuhan di sejumlah daerah selama musim Pemilu 1997, atau saat krisis ekonomi dan melangkanya sembako yang sempat membuat masyarakat panik, berkembang menjadi kerusuhan anti-Cina. Peristiwa paling akhir, yang daya cekamnya masih menggores di dinding-dinding hati bangsa, dan menimbulkan gelombang evakuasi besar-besaran etnik Cina ke luar negeri, terjadi pertengahan Mei lalu. Itulah aksi penjarahan dan pembakaran toko dan pusat perbelanjaan di kawasan Ibu Kota dan beberapa kota besar lainnya, menyusul "Tragedi Trisakti 12 Mei".

Yang menjadi pertanyaan banyak orang, dan tentu juga menjadi pertanyaan sentral warga etnik Cina, benarkah keberhasilan menguasai sektor ekonomi membuat "kita" cemburu buta pada "mereka"? Sudah begitu parahkah kecemburuan "kita" pada "mereka", sehingga setiap timbul percikan sosial, dari mana pun sumbernya, selalu menyulut "amuk massa" terhadap etnik Cina? Ketegangan antar-OPP di Pekalongan dan Banjarmasin pada Pemilu 1997, misalnya, dipuncaki dengan luluh-lantaknya toko-toko milik etnik Cina. Apalagi bila sumber konfliknya sejak awal sudah melibatkan etnik Cina seperti terjadi di Rengasdengklok dan Ujungpandang beberapa waktu lalu.

Kegagalan politik SARA

Eksplosifnya hubungan etnik Cina dan unsur masyarakat lain - kerap bias dengan isu Muslim - non-Muslim - melahirkan konsep "politik tabu SARA" (suku, agama, ras, dan antargolongan). Politik kamtibmas yang gencar disosialisasikan penguasa ini pada mulanya memang efektif meredam gejolak. Karena itu, sepanjang dua dasawarsa pertama Orde Baru, kita nyaris tak pernah mendengar ada peristiwa bentrokan serius, terutama antarsuku dan antargolongan, sebagaimana sering terjadi di zaman Orde Lama.

Namun sejak sepuluh tahun terakhir ini, sejalan dengan perkembangan iklim politik nasional dan internasional, politik SARA yang digelinding dengan roda kekuasaan represif, ternyata berubah menjadi bumerang. Sebab secara langsung atau tidak, SARA adalah politik "penyekatan unsur-unsur suku-agama-ras-antargolongan" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibatnya, ketika gerakan demokrasi dan keterbukaan berhasil mendobrak dinding-dinding penyekat itu, unsur-unsur suku, agama, ras, dan antargolongan tidak bisa segera menyatu. Timbul percikan-percikan api, beberapa di antaranya membakar emosi massa untuk bertindak brutal dalam kerusuhan sosial.

Yang menarik, dalam setiap kerusuhan yang menghadapkan massa dengan etnik Cina, aparat keamanan di lapangan terkesan sangat hati-hati (mungkin juga ragu-ragu). Tidak setegas dan sekeras sebelumnya. Hal ini melahirkan dugaan, selain takut melakukan kesalahan karena mata dunia mengawasinya, aparat khawatir dianggap menjadi pelindung etnik Cina. Hal ini bisa membakar emosi massa karena pandangan semacam itu memang berkembang di sebagian masyarakat. Sebaliknya, tidak bertindak tegas bisa ditafsirkan memberi angin kepada para perusuh, yang pada gilirannya mengundang interpretasi negatif dunia internasional (Barat) terhadap umat Islam yang dalam peta politik nasional kini dianggap sedang menguasai pentas kekuasaan. Apalagi pada setiap muncul kerusuhan sosial banyak pemilik toko menaruh "simbol-simbol" agama Islam di muka tokonya, agar terhindar dari tangan-tangan perusuh. Ini sebenarnya justru mempertajam "konflik semu" pri-nonpri.

Para pemegang otoritas keamanan tampaknya memahami bahwa etnik Cina dalam struktur kemasyarakatan secara sosial-budaya masih terbelenggu oleh konsep "mereka" yang bukan "kita". Karena itu ketika sejumlah pedagang etnik Cina tempo hari kedapatan menimbun barang, untuk menindaknya aparat perlu mengeluarkan pernyataan: "Penindakan terhadap para spekulan bukanlah perbuatan yang menjurus ke arah SARA". Tanpa prolog yang manis, bukan mustahil operasi pemberantasan para spekulan akan mengundang "solidaritas" sosial masyarakat, yang ketika itu sudah membara di berbagai tempat.

Korban simbol kekuasaan

Konflik antarkomunitas sosial dalam kehidupan bermasyarakat di pelosok dunia mana pun memang ada. Tapi potensi konflik dalam masyarakat kita (terhadap etnik Cina) sangat tidak sehat, kontraproduktif dan telah berkembang ke arah yang mengkhawatirkan dan mengganggu konsentrasi bangsa ini menyelesaikan berbagai krisis serta persiapan memasuki milenium ketiga yang menantang. Oleh sebab itu, mumpung masih dalam atmosfir "reformasi", jajaran elite kekuasaan perlu secara serius mengagendakan cara penyelesaian masalah ini secara komprehensif.

Ada catatan yang perlu dipertimbangkan sebagai landasan penyelesaian konflik klasik (terhadap etnik Cina) ini. Secara sosiokultural-tradisional, tumbuh subur dalam masyarakat kepercayaan masyarakat terhadap etnik Minang yang pandai berdagang. Oleh sebab itu, sesungguhnya tidak menjadi masalah bila lapangan ekonomi kemudian dikuasai oleh etnik Cina atau Minang. Bahkan sebenarnya kedekatan kelompok etnik "pedagang" ini dengan kekuasaan juga disadari masyarakat sebagai konsekuensi logis. Naluri para pelaku ekonomi di mana pun memang akan membawa langkah mereka ke lingkaran kekuasaan.

Penyebab maraknya sikap "anti-Cina" selama ini, kalau mau jujur, sebenarnya bukan sungguh-sungguh akibat perbedaan "mereka kaya" versus "kita yang miskin". Masyarakat Indonesia yang agamis - yang percaya bahwa jodoh, maut, dan rezeki Tuhan yang mengatur - sebenarnya tidak pernah mempermasalahkan hal ini. Bahkan secara tradisional, kekayaan sering diidentikkan dengan status sosial. Karena itu, rakyat kadang tak segan-segan mengabdikan dirinya pada tuan-tuan tanah atau keluarga-keluarga kaya. Sejarah pemberontakan rakyat dan petani umumnya dipicu oleh ketidakadilan kekuasaan.

Dalam hal Indonesia modern, sikap "anti-Cina" dipicu oleh banyaknya penyimpangan hukum yang dilakukan secara terbuka, kesewenang-wenangan dan ketidakadilan jaringan kekuasaan yang dirasakan langsung masyarakat selama beberapa dasawarsa. Dan rakyat yang hidup dalam iklim represif tempo hari, tak memiliki keberanian dan kekuatan untuk melawan semua itu. Maka sebagai kompensasi dari frustasi yang telah sampai puncak itu, etnik Cina di mana saja, dianggap dekat dengan penguasa - karena itu dijadikan simbol kekuasaan itu sendiri - kemudian menjadi sasaran kemarahan (massa).

Sementara itu, karena etnik Cina sendiri secara tradisional disimbolisasikan sebagai non-Muslim, maka massa yang dalam puncak kemarahan selalu tidak bisa berpikir sehat, sering menyasar simbol-simbol non-Muslim, seperti kelenteng atau gereja. Yang juga kerap dianggap sebagai simbol dari "simbol-simbol ketidakadilan-kekuasaan" karena itu dijadikan sasaran amuk massa - adalah toko, gedung dan barang-barang mahal seperti kendaraan bermotor.

Menjadikan simbol-simbol pelaku ketidakadilan yang secara lahiriah tidak sanggup dihadapi untuk dijadikan sasaran kemarahan bukanlah fenomena baru.

Bukankah kita juga sering melihat (di televisi) para pendemo membakar bendera atau boneka tokoh tertentu yang didemo? Maka melakukan reformasi struktur kekuasaan agar dalam manajemennya menjadi lebih adil, lebih transparan dan lebih demokratis, merupakan langkah awal mengurai benang kusut SARA.

Selanjutnya, pemerintah segera melakukan pendekatan politik-kebudayaan untuk mengakui etnik Cina sebagai "salah satu suku bangsa" - dan bukan "nonpri" atau warga "keturunan" seperti sebutan sekarang - sehingga secara alamiah "mereka" akan menjadi "kita". Karena pada dasarnya toh kita semua memiliki darah "keturunan", dan bukan pribumi sejati sebagaimana kepribumian Indian di daratan Amerika, atau bangsa Eskimo di Kutub Utara.

Keberhasilan Gerakan Reformasi hingga menyentuh tubuh kekuasaan yang dibiayai dengan darah, keringat dan air mata mahasiswa, mudah-mudahan sanggup menciptakan manajemen kekuasaan yang lebih bersih, adil, dan demokratis. Sehingga "konflik semu" pri-nonpri lenyap dalam kamus bahasa politik kita. Dengan demikian, para petualang politik "berdarah dingin", yang secara keji mengobarkan api permusuhan pri-nonpri untuk kepentingan tertentu, pun tak akan memperoleh momentumnya. Insya Allah.

(* Adhie M Massardi, pengamat masalah sosial kebudayaan).


BACK