Kita menangis
APA yang terjadi di Jakarta sepanjang hari Kamis (14/5) adalah
sebuah tragedi akhlak. Anak-anak yang kita agung-agungkan sebagai
penerus kepemimpinan bangsa ini di masa depan, mempertontonkan
tabiat yang patut ditangisi.
Dengan segala kebanggaan mereka merampas hak milik orang lain.
Dengan segala ekspresi kemenangan mereka merusak kepentingan umum.
Dengan dingin dan leluasa mereka membakar pompa bensin, berebut
barang curian, dan memamerkan jarahannya.
Sepanjang hari kemarin Jakarta yang menjadi barometer martabat
bangsa ini, tiba-tiba berubah menjadi negeri tak bertuan.
Kita menyaksikan sebuah Ibu Kota tanpa pemerintahan. Sebuah komunitas
tanpa authority.
Karena tidak ada lagi institusi formal yang fungsional, kita menyaksikan
warga Jakarta memperagakan pemusnahan diri. Sebuah tontonan pembumihangusan.
Kita semua seakan terbius penyakit Kaisar Nero yang membakar kota
Roma sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Alangkah pedihnya ketika kita semua akhirnya terperosok ke dalam
penderitaan yang tidak perlu. Seluruh kehidupan kota menjadi mati
karena ketiadaan bensin. Masyarakat terancam kelaparan karena
ketiadaan beras dan berbagai kebutuhan pokok. Orang harus berjalan
kaki puluhan kilometer karena ketiadaan kendaraan. Orang-orang
yang tidak berdosa tergeletak
di jalan raya disiksa massa yang kehilangan hati nurani. Anak-anak
meraung ketakutan menyaksikan orang tuanya dianiaya.
Kita yang selama ini bangga sebagai bangsa yang bermoral dan beradab
menyaksikan bagaimana orang-orang membakar rumah sakit. Kita menangis
ketika para pasien harus melarikan diri dari rumah sakit dengan
segala kemalangannya. Kita telah berubah menjadi insan-insan yang
bengis.
Tidak ada lagi kebanggaan tersisa yang bisa kita kibarkan kepada
dunia bahwa kita ini adalah bangsa yang beradab. Kita tidak terbiasa
dengan fairness dan kompetisi. Kita telah kehilangan budaya malu.
Mencuri, merampas, membunuh, merusak, yang diajarkan sebagai perbuatan
terlarang, kita pamerkan dengan rasa bangga dan heroik. Sungguh
menyedihkan.
Kita telah kehilangan kata-kata yang mampu mengatakan secara pas
tentang keberingasan kemarin. Mata, hati, dan nurani kita semua
telah buta. Kita menangis. Inilah satu-satunya ungkapan kepiluan
yang masih sanggup kita katakan saat ini. (Ren)
|